Kamis, 21 November 2013

RAJAH ; SIMBOL SARAT MAKNA

Dalam masyarakat Banjar, terutama daerah Pahuluan, hal-hal yang berhubungan dengan kedigjayaan sangatlah kental. Baik itu ilmu kesaktian seperti taguh, gancang, ilmu agar disegani, ataupun yang lainnya, masih tumbuh subur. Ilmu-ilmu tersebut diperoleh dengan berbagai cara. Ada yang melalui jalan bauntalan, barajah, bamandi-mandi, mangaji, atau balampah.
    Barajah atau istilah lainnya bawafak bisa ditemui hampir diberbagai pelosok Pahuluan. Biasanya diberbagai daerah diyakini banyak Tuan Guru yang dipercaya bisa marajah atau membuat wafak. Rajah atau wafak merupakan sebuah tulisan, lebih mirip lukisan atau kaligrafi. Biasanya menggunakan huruf, angka, dan simbol-simbol sarat makna dan mengandung sir atau rahasia. Maknanya hanya bisa dipahami orang-orang tertentu.
    Ada berbagai macam jenis rajah sesuai dengan kegunaannya masing-masing. Ada untuk kekebalan, wibawa, berdagang, menjaga rumah, dan agar disayang suami atau isteri. Karena itulah, orang membuat rajahan diberbagai tempat. Ada yang di tubuh, lidah, cincin, kertas, senjata tajam, kaos singlet, dan berbagai tempat lainnya. Bahkan ada juga yang dirajah di (maaf) kemaluannya. Semuanya tergantung jenis serta untuk apa rajah tersebut digunakan.
    Untuk membuat rajah, ada berbagai media atau alat yang biasa digunakan seorang kiai atau di Banua dikenal sebagai Tuan Guru. Dulu, orang barajah biasanya menggunakan dawat (sejenis arang) yang dicampur dengan minyak zaitun, hajar aswad, dan kelambu ka’bah yang dimasukkan ke dalam cupu atau botol kecil tempat minyak.
    Bahan-bahan yang sudah dicampur dan diberikan do’a-do’a khusus dituliskan ke badan dan anggota tubuh lainnya menggunakan sagar hanau (duri pohon enau), atau bisa juga dengan bilah kayu kecil. Bahkan, ada pula yang menggunakan pisau. Kini, seiring waktu, banyak orang yang membuat rajah dengan menggunakan media modern seperti spidol dan pulpen.
    H Muhlis, atau akrab disapa Guru Muhlis, salah seorang yang biasa membuat rajah di daerah Kandangan, mengaku sering didatangi orang dari berbagai pelosok. Mereka datang meminta tubuhnya dirajah. Adapula yang ingin dirajah di tempat lain seperti di baju, cincin, senjata tajam, atau kertas biasa. Ada juga yang ingin dibuatkan rajah di kayu atau dibuatkan camati dan juga babasal (rajah yang dililitkan di pinggang).
    Khusus untuk camati atau babasal, biasanya memakan waktu lama. Bahkan bisa berbulan-bulan. Hal itu, menurut Guru Muhlis disebabkan, dalam proses pembuatannya tidak bisa sembarangan dan harus mencari waktu yang tepat. Untuk rajah ditubuh biasanya tidak memerlukan waktu lama. Hanya memerlukan waktu beberapa menit.
    Menurut Guru Muhlis, untuk bisa mebuat rajah seseorang haruslah memahami betul berbagai jenis rajah dan kegunaannya. Selain itu, si pembuat haruslah mendapatkan izin dari seorang Guru. “ Tidak sembarang orang bisa membuat rajah, harus punya ‘ijazah’ atau ‘izin’,” ujarnya.
    Setiap hari, ada saja orang yang datang ke rumah Guru Muhlis di pedalaman Kandangan meminta dibuatkan rajah. Ada yang ingin agar disayang suami, untuk kekebalan, dan menjadi pejabat. Semua yang datang, siapapun orangnya, selalu dilayani Guru Muhlis dengan ramah.
    Sebelum dibuatkan rajah, ada juga orang yang dimandikan terlebih dahulu. Namun mandinya tak asal mandi. Seseorang yang dimandikan wajib mengenakan kain penutup aurat berwarna putih. Posisinya jongkok sambil menginjak senjata tajam seperti parang, dan menghadap matahari hidup (terbit).
    Usai mandi, kemudian seseorang disuruh masuk ke dalam ruangan khusus untuk dirajah. Saat membuat rajah, seperti di tubuh, biasanya seseorang menghadap kiblat dengan posisi duduk bersila. Setelah membaca do’a khusus, kemudian sang pembuat mulai marajah tubuh orang tersebut.
    Kebanyakan dimulai dengan punggung, lalu ke dahi, kepala, hingga tangan. Usai itu, biasanya orang tersebut diberikan beberapa pesan mengenai pantangan. Untuk masalah pantangan, tidak jauh berbeda dengan ilmu lain. Biasanya segala larangan agama seperti berzina, serta minum-minuman keras adalah pantangan yang wajib ditaati. Selain itu, usai dirajah, seseorang biasanya dilarang mandi dulu untuk beberapa jam. Karena itulah, biasanya orang marajah pada sore atau malam hari.
    Dalam masyarakat Islam sendiri, ada perbedaan pendapat mengenai barajah. Ada yang berpendapat bahwa barajah atau bawafak adalah perbuatan syirik. Namun ada juga yang berpendapat sebaliknya dan menilai hal itu hanya merupakan bagian budaya Banjar yang tak lekang oleh waktu. Bagi mereka yang percaya, barajah tidak lantas membuat seseorang menggantungkan nasib dan keberuntungannya pada rajah itu sendiri.
    Namun, rajah bagi mereka adalah bagian dari ikhtiar atau usaha yang memang wajib dilakukan seseorang. Soal nasib itu hal lain. Bagi orang-orang yang percaya pada keampuhan rajah, segala sesuatu memang tidak akan memberikan bekas, kecuali atas izin dan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.***

Sumber : Tabloid Urbana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar