Di sebuah desa di Kalimantan Selatan tinggallah sebuah keluarga yaitu
seorang suami, istri dan anaknya. Pekerjaan mereka sehari-hari adalah
bertani. Mereka bertiga hidup dari hasil bertani dan selalu mengerjakan
lahan mereka dengan tekun dan rajin. Sehingga mereka selalu
berkecukupan. Mereka hidup dan tinggal di daerah yang disebut dengan
nama Lukloa atau Loksinaga yaitu suatu perkampungan yang tepatnya
terletak di Kandangan ( Kabupaten Hulu Sungai Selatan ).
Pada suatu hari, kedua petani tersebut mencari ikan di batang Amandit (
sungai Amandit ) sebagai lauk untuk makan pada hari itu. Peralatan yang
digunakan untuk mencari atau menangkap ikan tersebut adalah tangguk (
alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu yang dipotong kecil-kecil
dan disusun sedemikian rupa ).
Setelah sekian lama mencari ikan di batang tersebut, tidak ada satu ekor
ikan pun yang masuk ke dalam tangguk mereka. Mereka hampir putus asa
dengan keadaan tersebut. Tetapi kemudian sang suami mendapatkan sebiji
telur besar, dengan senangnya dia bergegas menghampiri istrinya dan
sambil memperlihatkan telur yang diperoleh kepada istrinya, “Istriku
sayang… coba lihat apa yang aku bawa ini.” Sang istri langsung menoleh
ke arah suaminya. “apa itu suamiku, telur apa itu ?”. Karena rasa
curiganya dan was-was, sang istri justru menyarankan agar telur tersebut
dibuang. “Kenapa harus dibuang istriku, ini nanti kan bisa untuk lauk
kita?” Hari kan sudah semakin siang kita belum mendapatkan ikan untuk
lauk makan hari ini. Apa tidak kasihan dengan anak kita, makan tanpa
lauk karena kita belum mendapatkan ikan? “Sudahlah suamiku, buang saja
telur itu, kita kan tidak tau asal usulnya telur itu”. Walau dengan
berat hati dan perasaan kecewa, tapi demi sang istri telur tersebut
akhirnya dibuang oleh sang suami ke arah hulu sungai Amandit.
“Sudahlah suamiku, ayo kita teruskan untuk mencari ikan, siapa tau Tuhan
memberikan rizki untuk kita”. “Baiklah istriku, ayo kita teruskan
mencari ikannya, mudah-mudahan Tuhan mengabulkannya”. Petani tersebut
kembali melanjutkan mencari ikan dengan tangguknya dan berharap segera
mendapatkan ikan untuk dimakan pada hari itu. Namun ternyata usaha
mereka sia-sia belaka, tidak ada satu ekor ikan pun yang mereka dapatkan
di hari itu. Tapi anehnya telur yang tadinya dibuang kembali lagi masuk
ke dalam tangguk mereka. Berkali-kali telur itu dibuang, tetap saja
telur itu masuk kembali ke tangguknya. Karena hari sudah mulai siang dan
ikan tidak juga didapat, maka akhirnya mereka memutuskan membawa telur
tesebut ke rumah untuk dimakan sebagai pengganti ikan.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, sambil berbincang-bincang sang
suami menjelaskan kepada sang istri kalau dia tak perlu risau tidak
mendapatkan ikan, karena mereka sudah mendapatkan telur sebagai
pengganti ikan dan inilah rejeki mereka pada hari ini. Setelah sampai di
rumah telur pun dimasak oleh sang istri untuk dijadikan lauk saat makan
nanti.
Pada waktu makan bersama, sang istri dan anaknya tidak mau memakan telur
yang tadinya dimasak karena takut dengan keadaan telur yang berbeda
dari telur biasanya. Telurnya berukuran besar sehingga menimbulkan
perasaan yang tidak nyaman dari sang istri. Saat sang istri memasak
telur perasaannya selalu tidak enak. Daripada tidak ada yang mau memakan
telur yang tadinya dimasak, maka sang suami itu sendiri yang
memakannya. Usai memakan telur tersebut sang suami merasa kenyang. Tidak
berapa lama kemudian tiba-tiba timbul rasa gatal-gatal disekujur
tubuhnya dan dari kulit sang suami itu muncul sisik-sisik yang
menyerupai seperti sisik naga.
Lama-kelamaan sang suami berubah menjadi seekor naga yang berwarna putih
dan semakin hari sang naga semakin bertambah besar. Akibat dari
perubahan sang suami yang menjadi seekor naga, sang istri dan anaknya
merasa tidak nyaman dengan keadaan itu. Kemudian naga tersebut
diturunkan ke tanah melalui tangga dari dua buah batang pinang muda yang
dibuatkan oleh keluarganya dan sampai kesebuah parit kecil.
Sang naga kemudian melakukan perjalanan ke hilir sungai Amandit.
Ternyata di dasar sungai Amandit ini sang naga mendapatkan liang (
lubang besar ) dan kerena kelelahan setelah melakukan perjalanan, maka
sang naga memutuskan untuk beristirahat dan tertidur di dalam liang yang
baru ditemukannya tersebut. Padahal, liang yang ditempati oleh sang
naga Putih tersebut merupakan tempat tinggal dari seekor naga yang
berwarna Habang ( merah ) yang tadinya pergi mencari makan.
Ketika naga Habang kembali, dia sangat terkejut karena di dalam liangnya
sudah terdapat seekor naga yang berwarna Putih. Keadaan itu membuat
naga Habang menjadi marah. Kedatangan naga Habang ke dalam liangnya,
membuat naga Putih terkejut sehingga terbangun dari tidurnya.
Naga Habang tidak bisa menerima karena liangnya ditempati oleh naga
Putih sehingga terjadilah sebuah perkelahian yang sangat hebat. Namun
perkelahian ini tidak seimbang karena naga Putih tidak mempunyai taring
seperti naga Habang. Perkelahian ini akhirnya dimenangkan oleh naga
Habang. Kekalahan ini membuat naga Putih harus meninggalkan liang yang
baru didapatnya. Sang naga Putih kembali ke hulu menemui istrinya dan
mengadukan perihal kekalahannya dalam perkelahian melawan naga Habang di
liang yang baru ditemukannya. Untuk merebut kembali liang yang
ditemukan oleh naga Putih tersebut, dia disarankan oleh sang istri agar
memasang pisau yang tajam dikiri dan kanan mulutnya agar menyerupai
sepasang taring milik naga Habang. Saran ini disetujui oleh naga Putih
dan meminta kepada istrinya untuk membantu memasangkan pisau tersebut ke
kiri dan kanan mulutnya sebagaimana yang disarankan oleh sang istri.
Setelah pisau terpasang, dengan senang dan semangat naga Putih kembali
menuju ke liang untuk menuntut balas atas kekalahannya kepada naga
Habang. Mereka kembali melakukan perkelahian, pada perkelahian kali ini
naga Habang mengalami luka disekujur tubuhnya akibat taring buatan (
pisau ) yang dimiliki oleh naga Putih, sehingga naga Habang dapat
dikalahkan oleh naga Putih. Karena banyaknya luka yang dialami oleh naga
Habang, sehingga dia tewas di tangan naga Putih. Akibat banyaknya darah
yang dikeluarkan oleh naga Habang pada saat perkelahian, seketika itu
pula air sungai berubah menjadi merah berkilauan akibat darah yang
dikeluarkan dari tubuh naga Habang dan memantulkan cahaya beraneka ragam
warna yang indah merona di langit senja.
Setelah pertarungan usai, sang naga Putih bergegas kembali menuju ke
hulu sungai Amandit untuk memberikan kabar gembira kepada sang istri.
“Istriku sayang, aku datang membawa berita gembira”. “Kabar apa
suamiku, kelihatannya gembira sekali ?” “Bagaimana tidak gembira, aku
ternyata bisa mengalahkan si naga Habang itu. Ini semua berkat ide yang
kau berikan serta doa tulus yang selalu kau berikan untukku. Aku merasa
yakin bahwa kesetiaan dan cinta sucimu tetap seperti dulu. Meskipun aku
telah berubah wujud menjadi seekor naga putih. Aku telah dapat
mengalahkan naga Habang bahkan membuat naga Habang tewas. Sang istri
juga ikut merasa bahagia atas kemenangan yang didapat oleh sang suami (
naga Putih ). Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang
suami menyadari kalau mereka tidak mungkin bersatu dan hidup bersama
lagi. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan wujud diantara mereka.
Derai air mata dan isak tangis diantara mereka tidak bisa dibendung
lagi. Sebagai tanda kecintaan dan kesetiaan naga Putih terhadap anak dan
istrinya, ia meninggalkan pesan terlebih dahulu kepada keduanya. Pesan
tersebut adalah “apabila merasa rindu dan ingin bertemu kepadaku ( naga
Putih ), maka akan turunlah hujan, setelah itu panas, kemudian rintik
dan pada akhirnya muncul pelangi. Selagi masih ada pelangi di angkasa,
itu tandanya aku masih hidup dan cinta suciku selalu untuk kalian. Dan
mulai saat ini, panggillah aku ( naga Putih ) dengan sebutan
Balahindang”. Balahindang kemudian kembali ke liangnya ke dasar sungai
Amandit dan bersemayam disana untuk selama-lamanya.
Demikianlah kisah tentang kedua petani yang pada akhirnya terpisah
karena keadaan mereka. Walaupun cerita ini berbau mistis, tapi kejadian
kisah ini diyakini oleh sebagian masyarakat Kandangan, khususnya
orang-orang tua yang berada di daerah Lukloa, di aliran sungai Amandit,
Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
sumber : http://kamal-ansyari.blogspot.com/2012/03/datu-naga-ningkurungan-loksinaga.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar