Hantarukung adalah nama sebuah
perkampungan yang termasuk dalam Desa Wasah Hilir di Kecamatan Simpur,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan sekarang. Di Desa Wasah Hilir, tepatnya di
perkampungan Hantarukung yang berjarak 7 km dari Kandangan ibukota Kabupaten
Hulu Sungai Selatan ini, dulu pada tahun 1899 telah terjadi pertumpahan darah
perlawanan terhadap Belanda. Amok Hantarukung adalah (perang amuk yang
dilakukan penduduk di kampung Hantarukung) yang merupakan perlawanan bagian
dari Perang Banjar terhadap penjajahan Belanda. Perlawanan ini dipelopori oleh
seorang penduduk bernama Bukhari. Ia seorang kelahiran Hantarukung pada tahun
1850, yang sejak masa muda hingga dewasanya mengikuti orang tuanya pindah ke Puruk
Cahu di hulu Sungai Barito. Sejak Sultan Muhammad Seman menggantikan ayahnya
Pangeran Antasari sebagai pimpinan perjuangan Perang Banjar di daerah Puruk
Cahu, Bukhari adalah seorang yang setia mengabdikan dirnya. Ia seorang yang
dipercaya sebagai “Pemayung Sultan “ (pangawal). Ia dikenal di lingkungan
keluarga raja dan masyarakat di sekitarnya sebagai seorang yang mempunyai ilmu
kesaktian dan kekebalan.
Kelebihan-kelebihan
Bukhari tersebut menyebabkan ia dan adiknya bernama Santar mendapat tugas untuk
menyusun dan memperkuat barisan perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah
Hulu Sungai. Dengan membawa surat resmi dari Sultan Muhammad Seman, Bukhari dan
adiknya Santar datang ke Hantarukung untuk menyusun suatu pemberontakan rakyat
terhadap Pemerintah Belanda. Kedatangan Bukhari diterima hangat oleh penduduk
Hantarukung. Dengan bantuan Pangerak Yuya, Bukhari berhasil mengorganisir
kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Konon berita tentang Bukhari kebal
terhadap senjata pernah dibuktikannya kepada masyarakat. Ketika tubuhnya
ditutupi dengan karung goni, ketika di tombak atau diparang tubuhnya tidak ada
luka. Ilmu kebalnya juga diajarkannya kepada mereka yang bersedia menjadi
pengikutnya. Bahkan beberapa pengikutnya yang ketika dicoba juga kebal terhadap
senjata. Karena itulah dalam waktu singkat sebanyak 25 orang penduduk telah
menyatakan diri sebagai pengikutnya, dan dibawah pimpinan Bukhari dan Santar
siap untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Gerakan Bukhari ini
bahkan kemudian mendapat dukungan dari penduduk dari desa tetangga, yakni
selain dari Desa Wasah Hilir juga Desa Hamparaya dan Desa Ulin.
Penduduk
tiga desa tersebut tidak bersedia lagi melakukan keja rodi membuat “garis”
(sungai) yang menghubungkan Sungai Amandit dan Sungai Nagara. Selain itu mereka
menyatakan juga tidak mau lagi membayar pajak.
Sikap penduduk dan tindakan Pangerak
Yuya yang tidak mau menurunkan kuli (penduduk pekerja) untuk menggali “garis”
antara Sungai Amandit dan Sungai Nagara tersebut, kemudian dilaporkan Pembekal
Imat kepada kiai (pejabat Belanda) di Kandangan. Tetapi karena yang
bersangkutan sedang tidak ada di tempat, Pembekal melaporkannya kepada
kontrolir Belanda yang juga ada di Kandangan.
Penguasa
Belanda sangat marah mendengar berita itu. Pada tanggal 18 September 1899
berangkatlah rombongan penguasa Belanda yang terdiri dari kontrolir dan
adspirant beserta lima orang Indonesia (opas dan pembekal) yang setia kepada
Belanda. Dengan menaiki kereta kuda dan diikuti yang lainnya kontrolir datang
ke Hantarukung menemui Pangerak Yuya
Pangerak
Yuya yang telah bekerja sama dengan Bukhari untuk melawan Pemerintah Belanda
tersebut, ketika dipanggil oleh kontrolir, keluar dari rumahnya dengan sebuah
tombak dan parang tanpa sarung. Setelah terjadi tanya jawab mengapa penduduku
tidak lagi mengerjakan irakan menggali “garis” Amandit-Nagara, tiba-tiba muncul
ratusan penduduk di bawah pimpinan Bukhari dan Santar sambil mengucapkan
“salawat nabi” maju ke arah kontrolir dengan senjata tombak, serapang dan
lain-lainnya. Dalam peristiwa itu telah terbunuh kontrolir, adspirant serta
seorang anak buahnya. Sementara 4 orang lainnya sempat melarikan diri.
Peristiwa
tanggal 18 September 1899 ini terkenal dengan nama Pemberontakan Amok
Hantarukung yang dipelopori oleh Bukhari, seorang yang secara resmi
diperintahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan mengirimnya ke kampung asal
kelahiranya Hantarukung. Terbunuhnya kontrolir dan adspirant Belanda tersebut
segera sampai kepada pejabat-pejabat Belanda di Kandangan. Kemarahan pihak
Belanda tidak dapat terbendung lagi. Keesokan harinya pada hari Senin tanggal
19 September 1899 sekitar pukul 13.00 pasukan Belnda datang untuk mengadakan
pembalasan terhadap penduduk. Penduduk Hantarukung telah menyadari pula
peristiwa yang akan terjadi. Beratus-ratus penduduk di bawah pimpinan Bukhari,
Santar dan Pengerak Yuya siap dengan senjata mereka di pinggiran hutan dan
keliling danau menanti pasukan Belanda.
Ketika
sampai di kampung Hantarukung di suatu awang persawahan, melihat keadaan sepi,
Kapten Belnda melepaskan tembakan peringatan agar penduduk menyerah. Pada waktu
itulah Bukhari bersama-sama Haji Matamin dan Landuk maju sambil mengucapkan
“Allahu Akbar” berulang-ulang. Tindakan Bukhari tersebut diikuti para
pengikutnya yang sudah siap untuk berperang. Pertempuran sengit terjadi.
Bukhari, Haji Matamin, Landuk dan Pangerak Yuya gugur ditembus peluru Belanda.
Setelah melihat pemimpin-pemimpin mereka terbunuh, penduduk lari menyelamatkan
diri. Begitulah dalam peristiwa dua hari di Hantarukung tersebut, telah
terbunuh dari pihak Belanda adalah kontrolir, adspirant, dan seorang
pembatunya. Sementara dari pihak penduduk telah gugur sebagai pahlawan Bukhari,
Haji Matamin, Landuk dan Pangerak Yuya.
Pertiwa
ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh Belanda terhadap
penduduk Hantarukung, Desa Hamparaya, Ulin, Wasah Hilir, dan Simpur.
Penangkapan segera dilakukan oleh militer Belanda. Mereka yang ditangkapi
tersebut berjumlah 24 orang, yakni: Hala, Hair, Bain, Idir, Sahintul, Haji
Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang, Tasim, Bulat, Sudin,
Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnin, dan Santar. Tercatat
kemudian yang mati dalam penjara adalah: Hala, Hair, Bain, dan Idir. Sedangkan
yang mati digantung adalah: Sahintul, Haji Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma,
Alas, Tanang, dan Tasin. Mereka yang dibuang ke luar daerah adalah: Bulat,
Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnan, dan Santar.
Jenazah Bukhari, Landuk dan Haji
Matamin dimakamkan di Desa Parincahan, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Hulu
Sungai Selatan (HSS), yang dikenal sebagai “Makam Tumpang Talu”, karena jasad
mereka bertiga dimakamkan bersama dalam satu makam. Makam ini sejak tahun 1980
telah mendapat biaya pemeliharaan dari Direktorat Peninggalan Sejarah dan
Purbakala. Sedangkan 9 orang yang dihukum gantung oleh Belanda, mereka ada
beberapa yang dimakamkan di Pekuburan Bawah Tandui di kampung Hantarukung,
sebagian lagi dimakamkan di Pekuburan Telaga Gajah di Desa Hamparaya, Kecamatan
Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Propinsi Kalimantan Selatan. (Naskah
bagian dari Sejarah Perlawanan Rakyat terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di
Kalimantan Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar