Sabtu, 23 November 2013

AMUK HANTARUKUNG

Hantarukung adalah nama sebuah perkampungan yang termasuk dalam Desa Wasah Hilir di Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan sekarang. Di Desa Wasah Hilir, tepatnya di perkampungan Hantarukung yang berjarak 7 km dari Kandangan ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan ini, dulu pada tahun 1899 telah terjadi pertumpahan darah perlawanan terhadap Belanda. Amok Hantarukung adalah (perang amuk yang dilakukan penduduk di kampung Hantarukung) yang merupakan perlawanan bagian dari Perang Banjar terhadap penjajahan Belanda. Perlawanan ini dipelopori oleh seorang penduduk bernama Bukhari. Ia seorang kelahiran Hantarukung pada tahun 1850, yang sejak masa muda hingga dewasanya mengikuti orang tuanya pindah ke Puruk Cahu di hulu Sungai Barito. Sejak Sultan Muhammad Seman menggantikan ayahnya Pangeran Antasari sebagai pimpinan perjuangan Perang Banjar di daerah Puruk Cahu, Bukhari adalah seorang yang setia mengabdikan dirnya. Ia seorang yang dipercaya sebagai “Pemayung Sultan “ (pangawal). Ia dikenal di lingkungan keluarga raja dan masyarakat di sekitarnya sebagai seorang yang mempunyai ilmu kesaktian dan kekebalan.
           Kelebihan-kelebihan Bukhari tersebut menyebabkan ia dan adiknya bernama Santar mendapat tugas untuk menyusun dan memperkuat barisan perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah Hulu Sungai. Dengan membawa surat resmi dari Sultan Muhammad Seman, Bukhari dan adiknya Santar datang ke Hantarukung untuk menyusun suatu pemberontakan rakyat terhadap Pemerintah Belanda. Kedatangan Bukhari diterima hangat oleh penduduk Hantarukung. Dengan bantuan Pangerak Yuya, Bukhari berhasil mengorganisir kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Konon berita tentang Bukhari kebal terhadap senjata pernah dibuktikannya kepada masyarakat. Ketika tubuhnya ditutupi dengan karung goni, ketika di tombak atau diparang tubuhnya tidak ada luka. Ilmu kebalnya juga diajarkannya kepada mereka yang bersedia menjadi pengikutnya. Bahkan beberapa pengikutnya yang ketika dicoba juga kebal terhadap senjata. Karena itulah dalam waktu singkat sebanyak 25 orang penduduk telah menyatakan diri sebagai pengikutnya, dan dibawah pimpinan Bukhari dan Santar siap untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Gerakan Bukhari ini bahkan kemudian mendapat dukungan dari penduduk dari desa tetangga, yakni selain dari Desa Wasah Hilir juga Desa Hamparaya dan Desa Ulin.
           Penduduk tiga desa tersebut tidak bersedia lagi melakukan keja rodi membuat “garis” (sungai) yang menghubungkan Sungai Amandit dan Sungai Nagara. Selain itu mereka menyatakan juga tidak mau lagi membayar pajak.
Sikap penduduk dan tindakan Pangerak Yuya yang tidak mau menurunkan kuli (penduduk pekerja) untuk menggali “garis” antara Sungai Amandit dan Sungai Nagara tersebut, kemudian dilaporkan Pembekal Imat kepada kiai (pejabat Belanda) di Kandangan. Tetapi karena yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat, Pembekal melaporkannya kepada kontrolir Belanda yang juga ada di Kandangan.
           Penguasa Belanda sangat marah mendengar berita itu. Pada tanggal 18 September 1899 berangkatlah rombongan penguasa Belanda yang terdiri dari kontrolir dan adspirant beserta lima orang Indonesia (opas dan pembekal) yang setia kepada Belanda. Dengan menaiki kereta kuda dan diikuti yang lainnya kontrolir datang ke Hantarukung menemui Pangerak Yuya
           Pangerak Yuya yang telah bekerja sama dengan Bukhari untuk melawan Pemerintah Belanda tersebut, ketika dipanggil oleh kontrolir, keluar dari rumahnya dengan sebuah tombak dan parang tanpa sarung. Setelah terjadi tanya jawab mengapa penduduku tidak lagi mengerjakan irakan menggali “garis” Amandit-Nagara, tiba-tiba muncul ratusan penduduk di bawah pimpinan Bukhari dan Santar sambil mengucapkan “salawat nabi” maju ke arah kontrolir dengan senjata tombak, serapang dan lain-lainnya. Dalam peristiwa itu telah terbunuh kontrolir, adspirant serta seorang anak buahnya. Sementara 4 orang lainnya sempat melarikan diri.
           Peristiwa tanggal 18 September 1899 ini terkenal dengan nama Pemberontakan Amok Hantarukung yang dipelopori oleh Bukhari, seorang yang secara resmi diperintahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan mengirimnya ke kampung asal kelahiranya Hantarukung. Terbunuhnya kontrolir dan adspirant Belanda tersebut segera sampai kepada pejabat-pejabat Belanda di Kandangan. Kemarahan pihak Belanda tidak dapat terbendung lagi. Keesokan harinya pada hari Senin tanggal 19 September 1899 sekitar pukul 13.00 pasukan Belnda datang untuk mengadakan pembalasan terhadap penduduk. Penduduk Hantarukung telah menyadari pula peristiwa yang akan terjadi. Beratus-ratus penduduk di bawah pimpinan Bukhari, Santar dan Pengerak Yuya siap dengan senjata mereka di pinggiran hutan dan keliling danau menanti pasukan Belanda.
           Ketika sampai di kampung Hantarukung di suatu awang persawahan, melihat keadaan sepi, Kapten Belnda melepaskan tembakan peringatan agar penduduk menyerah. Pada waktu itulah Bukhari bersama-sama Haji Matamin dan Landuk maju sambil mengucapkan “Allahu Akbar” berulang-ulang. Tindakan Bukhari tersebut diikuti para pengikutnya yang sudah siap untuk berperang. Pertempuran sengit terjadi. Bukhari, Haji Matamin, Landuk dan Pangerak Yuya gugur ditembus peluru Belanda. Setelah melihat pemimpin-pemimpin mereka terbunuh, penduduk lari menyelamatkan diri. Begitulah dalam peristiwa dua hari di Hantarukung tersebut, telah terbunuh dari pihak Belanda adalah kontrolir, adspirant, dan seorang pembatunya. Sementara dari pihak penduduk telah gugur sebagai pahlawan Bukhari, Haji Matamin, Landuk dan Pangerak Yuya.
           Pertiwa ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh Belanda terhadap penduduk Hantarukung, Desa Hamparaya, Ulin, Wasah Hilir, dan Simpur. Penangkapan segera dilakukan oleh militer Belanda. Mereka yang ditangkapi tersebut berjumlah 24 orang, yakni: Hala, Hair, Bain, Idir, Sahintul, Haji Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang, Tasim, Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnin, dan Santar. Tercatat kemudian yang mati dalam penjara adalah: Hala, Hair, Bain, dan Idir. Sedangkan yang mati digantung adalah: Sahintul, Haji Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang, dan Tasin. Mereka yang dibuang ke luar daerah adalah: Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnan, dan Santar.
           Jenazah Bukhari, Landuk dan Haji Matamin dimakamkan di Desa Parincahan, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), yang dikenal sebagai “Makam Tumpang Talu”, karena jasad mereka bertiga dimakamkan bersama dalam satu makam. Makam ini sejak tahun 1980 telah mendapat biaya pemeliharaan dari Direktorat Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Sedangkan 9 orang yang dihukum gantung oleh Belanda, mereka ada beberapa yang dimakamkan di Pekuburan Bawah Tandui di kampung Hantarukung, sebagian lagi dimakamkan di Pekuburan Telaga Gajah di Desa Hamparaya, Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Propinsi Kalimantan Selatan. (Naskah bagian dari Sejarah Perlawanan Rakyat terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar