Sabtu, 23 November 2013

DATU PUTIH

Asal Usul Banyu Barau

Cerita tentang sikap perlawanan anak bangsa, putera Hulu Sungai Selatan yang ada di desa Parincahan (Banyu Barau sekarang) melawan penjajah Ulanda (Belanda) di masa itu.
Ketika itu pihak polisi Ulanda menerima laporan bahwa masyarakat desa Parincahan, tidak mentaati perintah dan tidak mau membayar pajak kepala. Perlawanan ini justru dipimpin oleh “pangerak” (jabatan setingkat Ketua LK sekarang) sendiri.
Atas laporan ini, komandan polisi Ulanda segera melaporkan ke Tuan Kantolor (asisten Kontroler), namun tuan Kantolor sedang berada di Banjarmasin. Sementara menunggu perintah dari tuan kantolor, komandan polisi melakukan konsolidasi dan koordinasi pasukan, guna menyusun siasat dan strategi penyerangan ke kampung Parincahan. Rencana penyerangan ini ternyata bocor dan diketahui oleh masyarakat setempat. Pangerak dan tetuha masyarakat Princahan segera mengadakan “pahadring” (rapat untuk membahas kesiapan menghadapi serangan ini.
Dalam rapat tersebut, disusun rencana yang cukup sederhana namun efektif. Di pinggiran desa arah ke jalan raya dibuat danau cukup luas, namun tidak terlalu dalam. Di sisinya dibuat jamban-jamban besar dari pohon kayu (batang) untuk keperluan MCK (mandi, cucui, kakus). Di tepi danau didirikan sebuah bangunan/balai yang sangat besar, dengan tiang-tiang tinggi terbuat dari pohon pinang. Di tengah bangunan tersebut digantung sebuah ayunan yang juga dalam ukuran besar. Beberapa buah drum minyak tanah tersedia berjejer di tepi danau. Kemudian masyarakat juga menumpuk paku besi dalam beberapa tumpukan di seberang danau laiknya tumpukan sayur.
Tertundanya waktu serangan, dikarenakan menunggu perintah tuan kantolor, memungkinkan masyarakat kampung untuk mengadakan persiapan tersebut.
Sementara itu polisi Ulanda mengumpulkan berbagai informasi tentang situasi desa dan masyarajatnya.
Waktu serangan pun tiba, polisi Ulanda di bawah pimpinan komandannya (satu-satunya Ulanda asli) tentara anggotanya kesemuanya “Ulanda hirang”), segera berangkat menuju desa Parincahan dengan bersenjatakan lengkap, yakni senapan “barujuk”, bayonet dan klewang.
Untuk menuju lokasi desa, pasukan polisi Ulanda dipandu oleh salah seorang warga, yang sebenarnya merupakan anggota kelompok masyarakat yang akan diserang.
Pasukan pun tiba di tepi danau buatan. Setibanya di sana mereka kaget dan tercengang menyaksikan pemandangan yang ada.
Di seberang danau, dibangunan besar, terlihat seorang anak bayi yang berwarna putih bertubuh sangat besar, sebesar orang dewasa, sedang “dipukung”/diayun. Mereka juga menyaksikan tumpukan paku di tepi danau, permukaan danan yang menyala dan jamban-jamban/batang dengan ukuran raksasa.
Dalam keadaan kaget dan ada rasa takut, segera menanyakan keanehan ini kepada penunjuk jalan.
Si penunjuk jalan menceritakan, bahwa:
1. Bayi yang sedang dipukung tersebut adalah anak pangerak.
2. Air danau yang menyala (banyu barau), memang merupakan kebutuhan air penduduk sehari-hari untuk minum, memasak dan mandi/cuci.
3. Jamban-jamban raksasa adalah tempat penduduk desa mandi, mencucui dan buang air.
4. Tumpukan paku merupakan bahan sayur-mayur untuk keperluan makan penduduk sehari-hari.
Mendengar penjelasan tersebut, komandan polisi Ualnda dan anggotanya merasa sangat takut. Rupanya penduduk desa Parincahan yang bakal mereka serang ini adalah para raksasa, dan bukan lawan mereka.
Komandan polisi Ulanda segera mengambil keputusan bahwa serangan dibatalkan, dan memerintahkan pasukan untuk kembali.
Desa tersebut akhirnya diberi nama desa Banyu Barau, dan sang bayi yang tidak lain adalah pangerak itu sendiri yang memamng berpostur tubuh besar, diberi gelar Datu Putih.
Ketika Datu Putih meninggal dunia, beliau dimakamkan di tempat beliau diayun dengan ukuran makam yang luas biasa besarnya, dan sampai sekarang tetap dibina oleh masyarakat setempat dan diberi cat warna putih. Makam ini dikenal dengan nama makam Datu Putih, dan sampai sekarang masih ada.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar