Sabtu, 30 November 2013

Datu Hamawang Kandangan

Datu Hamawang atau Datu Bungkul bergelar Tumenggung Raksa Yuda atau Pangeran Kecil, dan gelar Datu Hamawang inilah yang lebih dikenal.
Datu Hamawang selain orang yang sakti mandraguna, beliau juga sebagai seorang pahlawan dan sebagai seorang ulama panutan yang sangat disegani dan dihormati oleh masyarakat, sehingga segala keputusan yang akan dilaksanakan di daerah tersebut terlebih dahulu meminta saran dan pendapat bahkan persetujuan beliau. Menurut penuturan orang-orang tua, yang mula-mula memeluk agama islam di daerah ini adalah Datu Hamawang, kemudian beliau menyebarkan agama islam dan membangun sebuah mesjid di hamawang (mesjid Quba) di bantu oleh Datu Ulin dan Datu Basuhud yang akhirnya kawin dengan adik Datu Hamawang yang bernama Datu Salayan.
Menurut cerita, Datu Hamawang adalah orang yang dikaruniai umur yang panjang, umur beliau mencapai 300 tahun.
Datu Hamawang mempunyai 4 orang bersaudara:
1. Datu Balimbur. Beliau juga disebut Datu Kurungan, karena beliau memelihara buaya putih dalam kurungan, konon ketika Pangeran Suriansyah mendirikan istana kerajaan (sekarang lokasi Mesjid Kuin), buaya putih ini ikut juga membantunya. Terakhir beliau bermukim di daerah Barito. Zuriyat beliau adalah Garuntung Manau dan Garuntung Waluh, suku Dayak Biaju Hampatung. Sekarang zuriyat beliau ada di Hamawang, Sungai Kudung, Telaga Langsat, Lumpangi dan Daerah Barito.
2. Datu Hamawang atau Datu Bungkul. Zuriyat beliau sekarang ada di Hamawang, Sungai Raya, Sungai Kali, Sarang Halang, Pagar Haur, Malutu dan Sungai Kudung.
3. Datu Tambunau atau TUMENGGUNG ANTALUDIN. Zuriyat beliau adalah Pambalah Batung dan Datu Dambung, dan sekarang zuriyat beliau ini ada di sekitar Sungai Kudung, Madang, Padang Batung, Kaliring, Hamawang, Sungai Gula, Puruk Cahu, Sumatera dan daerah Pegunungan Meratus (Gunung Panginangan Ratu dan Cantung). Datu Tambunau terkenal sebagai pejuang yang sakti mandraguna, pantang menyerah terhadap penjajah Belanda. Konon beliau mempunyai baju layang yang bisa digunakan sebagai sayap untuk terbang. Setelah peperangan melawan Belanda (Perang Gunung Madang) selesai, beliau bertapa di Gunung Panginangan Ratu. Dari nama beliau itulah akhirnya Kandangan di namakan BUMI ANTALUDIN, karena beliau dengan gagah berani mempertahankan Kandangan dari penjajah Belanda di benteng madang.
4. Datu Salayan (Datu Ibuk) bergelar Ratu Kumala Sari atau Ratu Mayang Sari, yang kemudian kawin dengan Datu Basuhud. Mereka akhirnya menetap di Alai Barabai. Zuriyat beliau sekarang ada di Hamawang, Sungai Kudung, Banyu Barau, Gambah, Alai (Barabai) dan Malaysia. 
 
sumber:   http://kamal-ansyari.blogspot.com/search?updated-min=2010-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2011-01-01T00:00:00-08:00&max-results=1

DATU NAGA NINGKURUNGAN LOKSINAGA AMANDIT KANDANGAN

Di sebuah desa di Kalimantan Selatan tinggallah sebuah keluarga yaitu seorang suami, istri dan anaknya. Pekerjaan mereka sehari-hari adalah bertani. Mereka bertiga hidup dari hasil bertani dan selalu mengerjakan lahan mereka dengan tekun dan rajin. Sehingga mereka selalu berkecukupan. Mereka hidup dan tinggal di daerah yang disebut dengan nama Lukloa atau Loksinaga yaitu suatu perkampungan yang tepatnya terletak di Kandangan ( Kabupaten Hulu Sungai Selatan ).
Pada suatu hari, kedua petani tersebut mencari ikan di batang Amandit ( sungai Amandit ) sebagai lauk untuk makan pada hari itu. Peralatan yang digunakan untuk mencari atau menangkap ikan tersebut adalah tangguk ( alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu yang dipotong kecil-kecil dan disusun sedemikian rupa ).
Setelah sekian lama mencari ikan di batang tersebut, tidak ada satu ekor ikan pun yang masuk ke dalam tangguk mereka. Mereka hampir putus asa dengan keadaan tersebut. Tetapi kemudian sang suami mendapatkan sebiji telur besar, dengan senangnya dia bergegas menghampiri istrinya dan sambil memperlihatkan telur yang diperoleh kepada istrinya, “Istriku sayang… coba lihat apa yang aku bawa ini.” Sang istri langsung menoleh ke arah suaminya. “apa itu suamiku, telur apa itu ?”. Karena rasa curiganya dan was-was, sang istri justru menyarankan agar telur tersebut dibuang. “Kenapa harus dibuang istriku, ini nanti kan bisa untuk lauk kita?” Hari kan sudah semakin siang kita belum mendapatkan ikan untuk lauk makan hari ini. Apa tidak kasihan dengan anak kita, makan tanpa lauk karena kita belum mendapatkan ikan? “Sudahlah suamiku, buang saja telur itu, kita kan tidak tau asal usulnya telur itu”. Walau dengan berat hati dan perasaan kecewa, tapi demi sang istri telur tersebut akhirnya dibuang oleh sang suami ke arah hulu sungai Amandit.
“Sudahlah suamiku, ayo kita teruskan untuk mencari ikan, siapa tau Tuhan memberikan rizki untuk kita”. “Baiklah istriku, ayo kita teruskan mencari ikannya, mudah-mudahan Tuhan mengabulkannya”. Petani tersebut kembali melanjutkan mencari ikan dengan tangguknya dan berharap segera mendapatkan ikan untuk dimakan pada hari itu. Namun ternyata usaha mereka sia-sia belaka, tidak ada satu ekor ikan pun yang mereka dapatkan di hari itu. Tapi anehnya telur yang tadinya dibuang kembali lagi masuk ke dalam tangguk mereka. Berkali-kali telur itu dibuang, tetap saja telur itu masuk kembali ke tangguknya. Karena hari sudah mulai siang dan ikan tidak juga didapat, maka akhirnya mereka memutuskan membawa telur tesebut ke rumah untuk dimakan sebagai pengganti ikan.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, sambil berbincang-bincang sang suami menjelaskan kepada sang istri kalau dia tak perlu risau tidak mendapatkan ikan, karena mereka sudah mendapatkan telur sebagai pengganti ikan dan inilah rejeki mereka pada hari ini. Setelah sampai di rumah telur pun dimasak oleh sang istri untuk dijadikan lauk saat makan nanti.
Pada waktu makan bersama, sang istri dan anaknya tidak mau memakan telur yang tadinya dimasak karena takut dengan keadaan telur yang berbeda dari telur biasanya. Telurnya berukuran besar sehingga menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dari sang istri. Saat sang istri memasak telur perasaannya selalu tidak enak. Daripada tidak ada yang mau memakan telur yang tadinya dimasak, maka sang suami itu sendiri yang memakannya. Usai memakan telur tersebut sang suami merasa kenyang. Tidak berapa lama kemudian tiba-tiba timbul rasa gatal-gatal disekujur tubuhnya dan dari kulit sang suami itu muncul sisik-sisik yang menyerupai seperti sisik naga.
Lama-kelamaan sang suami berubah menjadi seekor naga yang berwarna putih dan semakin hari sang naga semakin bertambah besar. Akibat dari perubahan sang suami yang menjadi seekor naga, sang istri dan anaknya merasa tidak nyaman dengan keadaan itu. Kemudian naga tersebut diturunkan ke tanah melalui tangga dari dua buah batang pinang muda yang dibuatkan oleh keluarganya dan sampai kesebuah parit kecil.
Sang naga kemudian melakukan perjalanan ke hilir sungai Amandit. Ternyata di dasar sungai Amandit ini sang naga mendapatkan liang ( lubang besar ) dan kerena kelelahan setelah melakukan perjalanan, maka sang naga memutuskan untuk beristirahat dan tertidur di dalam liang yang baru ditemukannya tersebut. Padahal, liang yang ditempati oleh sang naga Putih tersebut merupakan tempat tinggal dari seekor naga yang berwarna Habang ( merah ) yang tadinya pergi mencari makan.
Ketika naga Habang kembali, dia sangat terkejut karena di dalam liangnya sudah terdapat seekor naga yang berwarna Putih. Keadaan itu membuat naga Habang menjadi marah. Kedatangan naga Habang ke dalam liangnya, membuat naga Putih terkejut sehingga terbangun dari tidurnya.
Naga Habang tidak bisa menerima karena liangnya ditempati oleh naga Putih sehingga terjadilah sebuah perkelahian yang sangat hebat. Namun perkelahian ini tidak seimbang karena naga Putih tidak mempunyai taring seperti naga Habang. Perkelahian ini akhirnya dimenangkan oleh naga Habang. Kekalahan ini membuat naga Putih harus meninggalkan liang yang baru didapatnya. Sang naga Putih kembali ke hulu menemui istrinya dan mengadukan perihal kekalahannya dalam perkelahian melawan naga Habang di liang yang baru ditemukannya. Untuk merebut kembali liang yang ditemukan oleh naga Putih tersebut, dia disarankan oleh sang istri agar memasang pisau yang tajam dikiri dan kanan mulutnya agar menyerupai sepasang taring milik naga Habang. Saran ini disetujui oleh naga Putih dan meminta kepada istrinya untuk membantu memasangkan pisau tersebut ke kiri dan kanan mulutnya sebagaimana yang disarankan oleh sang istri.
Setelah pisau terpasang, dengan senang dan semangat naga Putih kembali menuju ke liang untuk menuntut balas atas kekalahannya kepada naga Habang. Mereka kembali melakukan perkelahian, pada perkelahian kali ini naga Habang mengalami luka disekujur tubuhnya akibat taring buatan ( pisau ) yang dimiliki oleh naga Putih, sehingga naga Habang dapat dikalahkan oleh naga Putih. Karena banyaknya luka yang dialami oleh naga Habang, sehingga dia tewas di tangan naga Putih. Akibat banyaknya darah yang dikeluarkan oleh naga Habang pada saat perkelahian, seketika itu pula air sungai berubah menjadi merah berkilauan akibat darah yang dikeluarkan dari tubuh naga Habang dan memantulkan cahaya beraneka ragam warna yang indah merona di langit senja.
Setelah pertarungan usai, sang naga Putih bergegas kembali menuju ke hulu sungai Amandit untuk memberikan kabar gembira kepada sang istri. “Istriku sayang, aku datang membawa berita gembira”. “Kabar apa suamiku, kelihatannya gembira sekali ?” “Bagaimana tidak gembira, aku ternyata bisa mengalahkan si naga Habang itu. Ini semua berkat ide yang kau berikan serta doa tulus yang selalu kau berikan untukku. Aku merasa yakin bahwa kesetiaan dan cinta sucimu tetap seperti dulu. Meskipun aku telah berubah wujud menjadi seekor naga putih. Aku telah dapat mengalahkan naga Habang bahkan membuat naga Habang tewas. Sang istri juga ikut merasa bahagia atas kemenangan yang didapat oleh sang suami ( naga Putih ). Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami menyadari kalau mereka tidak mungkin bersatu dan hidup bersama lagi. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan wujud diantara mereka.
Derai air mata dan isak tangis diantara mereka tidak bisa dibendung lagi. Sebagai tanda kecintaan dan kesetiaan naga Putih terhadap anak dan istrinya, ia meninggalkan pesan terlebih dahulu kepada keduanya. Pesan tersebut adalah “apabila merasa rindu dan ingin bertemu kepadaku ( naga Putih ), maka akan turunlah hujan, setelah itu panas, kemudian rintik dan pada akhirnya muncul pelangi. Selagi masih ada pelangi di angkasa, itu tandanya aku masih hidup dan cinta suciku selalu untuk kalian. Dan mulai saat ini, panggillah aku ( naga Putih ) dengan sebutan Balahindang”. Balahindang kemudian kembali ke liangnya ke dasar sungai Amandit dan bersemayam disana untuk selama-lamanya.
Demikianlah kisah tentang kedua petani yang pada akhirnya terpisah karena keadaan mereka. Walaupun cerita ini berbau mistis, tapi kejadian kisah ini diyakini oleh sebagian masyarakat Kandangan, khususnya orang-orang tua yang berada di daerah Lukloa, di aliran sungai Amandit, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
 
sumber : http://kamal-ansyari.blogspot.com/2012/03/datu-naga-ningkurungan-loksinaga.html

Rabu, 27 November 2013

Ilmu Taguh Urang Banjar

menurut urang bahari:
1.untalan minyak sambung nyawa
2.untalan minyak bintang
3.untalan minyak gilingan gangsa
4.untalan rangka hirang
5.untalan minyak gajah
6.untalan minyak sulingan mayat
7.untalan bulu barabiaban
8.sumping takau
9.buntut anoman
10.taring pelanduk(jimat)
11.wasi kuning(jimat)
12.picis mimang(jimat)
13.tanduk kucing(jimat)
14.andung laki sampuk buku(jimat)
15.haur sampuk buku(jimat)
16.kulit kijang putih(jimat)
17.daun taguh sahari(jimat)
18.kakamban hantu beranak(jimat)
19.sulang kambing
20.buntat kalimbuai
21.kalang sawa
22.batu patir
23.buntat ulin
24.ulin manang
25.sampuk sisik(lampahan)
26.pekat sambung buku
27.taguh kurung-kurung(bawaan dr lahir)
28.tapa banyu(jenis mandi)
29.mandi dlm tapih kuitan(mandi dlm tapih wasi)
30.hayam ualangan
31.dll(habis dah yg uln ketahui)
sekian masukan nya kalo aja ada suhu yang mau jelasin lanjutkan

sumber : http://mistik-gaib.blogspot.com/2012/07/ilmu-ilmu-kebal-dari-banjar-kalimantan.html

Bamandi Taguh

“MANDI TAGUH”
Oleh: Om’Cing Hariez (Admin FB: Komunitas Pemerhati Adat dan Budaya Indonesia)
Masyarakat Banjar kaya dengan berbagai fenomena dan ritual budaya yang bersifat khas. Salah satu di antaranya adalah ritual mandi taguh atau mandi kebal, yang dilakukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap senjata tajam maupun senjata api.
Dalam tutur sejarah lisan Banjar, tokoh yang terkenal memiliki dan dianggap sebagai ikon dalam ilmu kekebalan tubuh dimaksud adalah Datu Karipis, yang kebal kulitnya, tahan dari senjata tajam maupun senjata api dan dikatakan seperti besi badannya. Datu Karipis berasal dari daerah Muning, Tatakan, Rantau. Oleh masyarakat Muning, dia diyakini sebagai salah seorang murid (murid yang keempat) dari Datu Suban, yang merupakan mahaguru dari para datu di Muning.
Sebagai salah satu dari ilmu kebatinan yang ada di Kalimantan dan dimiliki oleh orang-orang zaman dulu sebagai syarat kehebatan, keperkasaan, alat pelindung diri, dan menjadi andalan para pejuang Banjar dalam merebut kemerdekaan dari penjajahan, ilmu kebal dipercaya hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Bahkan ada anggapan, jika ilmu kebal hanya didapat dan diwariskan berdasarkan garis keturunan.
Dalam kepercayaan masyarakat Banjar orang yang memiliki ilmu kekebalan itu bisa dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang kebal tubuhnya sejak pertama kali dilahirkan, sebab ketika dia lahir dalam keadaan terbungkus oleh kulit atau yang sering disebut orang Banjar “lahir bakulubut”. Disebut dengan taguh bungkus atau taguh basalumur. Kedua, kelompok yang memiliki ilmu kebal setelah melalui proses tertentu. Untuk mendapatkan kekebalan tubuh, memang banyak ritual yang biasa dilakukan oleh orang Banjar.
Pertama, ada yang mendapatkan kekebalan tubuh dimaksud karena memakai jimat-jimat tertentu yang berwujud wafak-wafak. Rumusan-rumusan wafak ditulis di atas kertas, di atas baju dalam pria (baju barajah/ baju bawafak) atau dituliskan (dirajahkan) pada punggung, ditulis di cincin atau benda lainnya. Wafak yang ditulis di atas kertas dan dibungkus dengan kain kuning atau kain hitam disebut jimat. Jimat ini biasanya ditaruh di peci, dikalungkan atau ditaruh di kantong baju. Ada juga yang dijadikan ikat pinggang yang disebut babatsal. Ada juga wafak yang ditulis di atas kertas lalu diuntal (ditelan).
Kedua, ada yang mendapat kekebalan tubuh karena memakai benda-benda tertentu yang dianggap mengandung aura gaib dan kesaktian (mana), misalnya picis mimang, rantai babi, cemeti, besi kuning atau wasi tuha, mustika ular, dan lain-lain. Rantai babi adalah benda yang terdapat di leher salah seekor babi liar (rajanya). Besi kuning adalah besi yang ditemukan dalam sarang tabuan pipit yang sudah sangat tua. Tabuan pipit adalah sejenis lebah penyengat yang sangat berbisa, dan besi kuning konon adalah batu tempat mengasah sengatnya. Wasi tuha (besi tua) adalah sebutan untuk senjata kuno yang diwarisi turun-temurun, seperti keris, parang bungkul, mandau, tombak, badik, taji, dan lain-lain.
Ketiga, mereka yang kebal karena meminum minyak-minyak sakti seperti minyak gajah, minyak rangka hirang dan atau minyak bintang. Bisa juga dengan menelan benda-benda tertentu (untalan).
Keempat, mereka yang memiliki kekebalan tubuh dengan cara melakukan pertapaan atau semedi dengan mengamalkan bacaan-bacaan tertentu secara berulang-ulang, yang dalam bahasa Banjar disebut dengan balampah. Balampah juga sering berarti berpantang sesuatu selama waktu tertentu dalam rangka mencapai sesuatu. Menurut cerita, kegiatan balampah untuk memperoleh kekebalan konon banyak dilakukan orang Banjar pada saat perang kemerdekaan dan perang dengan Portugis (tahun tujuh puluhan. Sehingga, pada tahun tujuh puluhan, banyak orang datang ke Kampung Dalam Pagar (Martapura) guna memperoleh jimat, baju bawafak atau barajah, babatsal, dan yang lainnya untuk mendapatkan kekebalan.
Kelima, mereka yang memiliki kekebalan karena mengamalkan bacaan tertentu (melalui wiridan), antara lain yang berwujud ayat Alquran, Hizb (pertahanan), syair atau pantun, dan bacaan-bacaan lain yang terkadang dicampur dengan rumusan bahasa Banjar.
Keenam,mereka yang mendapatkan kekebalan tubuh melalui ritual mandi, yang disebut dengan mandi taguh atau mandi kebal.
Umumnya, ritual mandi taguh dilakukan oleh mereka yang ingin bepergian jauh (madam) baik dalam rangka untuk menuntut ilmu maupun berusaha (berdagang, mendulang), mereka yang akan melaksanakan tugas berat (misalnya tentara atau polisi yang ditugaskan di daerah-daerah konflik) atau mereka yang merasa terancam jiwanya.
Menurut informasi, kitab-kitab klasik, seperti Taj al-Muluk, Dhairoby, Syamsul Ma’arif, Mujarabat, Senjata Mu’min, Aufaq al-Gazali dan sejenisnya merupakan referensi utama guru pemandian dalam mempelajari dan mendasari hal-hal yang harus dilakukan ketika melaksanakan prosesi mandi taguh.
Mengapa, mandi menjadi salah satu media penting bagi orang Banjar untuk mendapatkan kekebalan tubuh? Dalam pemahaman masyarakat Banjar, air menjadi sebuah media penting untuk mendapatkan penyembuhan atau suatu kekuatan, termasuk kekebalan tubuh. Orang Banjar meyakini, karena manusia berasal dari air, maka air pulalah yang menyebabkan dia menjadi seorang yang memiliki kekuatan tertentu. Air tidak bisa dipatahkan, air tidak bisa ditebas dengan pedang, ditombak, dan seterusnya, air akan tetap kembali ke bentuknya semula. Boleh jadi pemahaman ini akhirnya mendorong orang Banjar melakukan ritual mandi taguh untuk mendapatkan kekebalan tubuh.
Adanya pemakaian tulisan Arab dan bacaan-bacaan yang dibaca dalam bahasa Arab, menyiratkan adanya pengaruh Islam terhadap prosesi atau ritual mandi taguh. Walaupun, pemakaian benda-benda yang lain, seperti kain kuning, mantra, dan sebagainya juga menyimbolkan adanya pengaruh dari Hindu-Budha, Animisme dan Dinamisme. Namun, masing-masing dari pengaruh tersebut terlihat dari orang yang melaksanakan ritual dan jalannya prosesi mandi taguh (pemandian). Di sini, terlihat bahwa ritual mandi taguh mengalami sinkritis antara ajaran Hindu-Budha, Animisme-Dinamisme dengan Islam.
Mandi taguh memperlihatkan adanya sebuah ritual khas yang telah dilakukan sejak masa dulu hingga sekarang oleh orang Banjar untuk melindungi diri mereka dari serangan senjata tajam.
Sampai kapankah ritual budaya ini dapat bertahan? Tentunya apapun ritual yang dilakukan dengan tujuan untuk melindungi diri semata-mata semuanya karena izin Allah SWT.
(Berbagai sumber)

ARUH ADAT MASYARAKAT DAYAK MERATUS


Aruh adalah salah satu upacara ritual yang mengiringi kebudayaan huma dari Suku Dayak Meratus yang mendiami kaki hunjuran Pegunungan Meratus di Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Penduduk Loksado di dominasi oleh etnik Dayak yang sebagian besar menganut kepercayaan Kaharingan.  Sebagian besar dari mereka masih tinggal di dalam rumah besar yang disebut Balai.


Aruh dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur mereka atas hasil panen yang dilimpahkan oleh Yang Maha Kuasa kepada seluruh warga.  Ditiap Balai pada waktu yang bervariasi dilaksanakan upacara ritual pasca panen yang dinamakan Aruh Ganal Bawanang, yaitu sebuah ritual yang dilaksanakan di dalam balai.  Lama Aruh Ganal atau pesta besar itu antara 3 sampai 7 hari, tergantung dari perolehan hasil pertanian mereka.


Saat malam berbulan setengah bayang, bunyi gamelan bertalu – talu, berpadu dengan lengkingan serunai bambu, lalu muncul dengung rapalan mantera para balian (dukun), penghubung antara alam nyata dengan alam supra natura yang seakan berebut menjangkau nada – nada tinggi.  Suara – suara itu seperti berasal dari dunia lain, menyusur malam, mengalir dan terhempas dari jeram khayali yang entah dimana.
Balai akan ramai, lantai bambu berderak – derak oleh hentakan kaki para penari.  Perempuan – perempuan balai akan meliuk gemulai dalam Tari Bangsai, sementara para lelakinya meliuk – liuk seperti elang terbang lewat Tari Kanjar.  Mereka bergerak memutari lalaya, sebutan untuk sntrum upacara berhias janur – janur pucuk enau.



Saat malam rebah tiang, bunyi gemerincing Galang Hiyang (gelang khusus terbuat dari perunggu) di tangan para balian semakin nyaring bergemerincing.  Sambil menari – nari para balian itu menggotong binatang korban untuk disembelih pada upacara Badulang Darah, sebagai puncak upacara penunai hajat kepada Yang Maha Kuasa dalam kepercayaan Dayak Meratus.

sumber :  http://daha-generation1.blogspot.com/2012/10/aruh-adat-masyarakat-dayak-meratus.html

Mandau, Senjata Tradisional Kalimantan selatan


Pengantar
Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan “daerah asal” orang Dayak semata karena di sana ada orang Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang Melayu. Dan, di kalangan orang Dayak sendiri satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri). Sebagai catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara.

Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.

Struktur Mandau
1. Bilah Mandau
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu.

Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin. Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.

2. Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.

3. Sarung Mandau.
Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.

Nilai Budaya
Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna. (ali gufron)

 Sumber:
Umberan, Musni. Dkk. 1994. Sejarah Kebudayaan Kalimantan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

PERTEMPURAN DI GUNUNG MADANG (PERANG BANJAR)

(PERANG BANJAR)
Perang Banjar: Pertempuran di Gunung Madang
Sebagai telah dikemukakan, sesudah bulan Muharram, kegiatan perlawanan melawan dan menggempur Belanda sangat meningkat. Dari selatan ke utara membentang nyala api pertempuran-pertempuran;
a. Di Tanah Laut, perlawanan terutama untuk menyerang Benteng Batu Tongko di bawah pimpinan Haji Buyasin dengan kawan-kawan.
b. Di Martapura di bawah pimpinan Pangeran Muda dan kawan-kawan
c. Di Pengaron di bawah pimpinan Haji Sambas
d. Di Benua Amandit di bawah Demang Leman
e. Di Benua Alai di bawah Hidayat
f. Di Balangan di bawah Jalil
g. Di Tabalong di bawah Antasari.
Baik Hidayat, maupun Antasari dan Demang Leman, selalu menjelajah seluruh daerah pertempuran, kadang bersama-sama, kadang berpisah-pisah. Hidayat dan Demang Leman meminta kepada Temenggung Antaluddin supaya meminta memimpin mendirikan benteng pertahanan di gunung Madang. Letak benteng ini sangat strategis di sebuah bukit yang tingginya k.l. 50 meter. Belum lagi benteng ini selesai seluruhnya, rupanya pihak Belanda telah mencium bau.
Pada tanggal 3 September 1860 telah datang patroli Belanda dari Amawang melalui kampung Karang Jawa dan Ambarai menuju kaki gunung (bukit) Madang. Segera pihak Belanda melihat benteng yang terdapat di puncak bukit itu. Betapakah terkejutnya, baru saja mereka berada di kaki bukit itu, mereka telah disambut dengan tembakan bedil, dan 4 serdadu bangsa Belanda kena tembak jatuh tergelimpang. Pihak Belanda mencoba mendaki bukit itu, tetapi mereka dapat dipukul mundur, pasukan Belanda yang banyaknya k.l. 30 orang terpaksa kembali ke Amawang membawa korban-korban.
Keesokan harinya datang lagi pasukan infanteri Belanda dari batalyon 13 dengan membawa senjata mortir. Mereka membawa pula beberapa puluh perantaian (kettinggangers) dengan maksud menghancurkan dan meratakan benteng itu seluruhnya. Ketika pasukan infanteri Belanda sampai di kaki Gunung Madang, mereka telah disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Tentara Belanda melemparkan 3 buah granat, tetapi ternyata bisu, tidak meletus. Di dalam benteng ini juga beberapa orang suku Bugis dan beberapa orang perantaian yang melarikan diri kepada pasukan Temenggung Antaluddin dan Demang Leman.
Betapa terkejutnya pemimpin pasukan Belanda Letnan De Brauw dan sersan De Vries, ketika dari benteng itu meneriaki namanya De Brauw dan De Vries. Dan terkejutnya lebih besar lagi ketika ia menaiki Bukit Madang untuk menyerbu benteng itu, ia hanya diikuti oleh anggota-anggota pasukannya yang berbangsa Eropa, sedang anak buahnya Inlander (suku Bumiputera) membangkang tidak ikut serta. Letnan De Brauw kena tembak di pahanya dan 9 orang tentara Belanda bangsa Eropa lainnya jatuh bergelimpangan. Walaupun bala bantuan dari Amawang datang lagi bertambah, tetapi mereka tidak berani lagi melakukan penyerbuan menaiki gunung itu lagi pada hari itu.
Setelah pertempuran pada tanggal 3 dan 4 September itu, Belanda tidak berani lagi mendaki Gunung Madang. Kapten Koch menunggu datangnya bala bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai. Barulah setelah terkumpul beberapa ratus tentaranya, mereka datang lagi pada tgl 13 September 1860 menyerbu Gunung Madang. Tentaranya yg beratus2 orang banyaknya itu membawa pula meriam dan mortir. Penembakan dengan meriam dan mortir dilakukan dari jarak 60 meter. Penyerangan kali ini di bawah pimpinan Kapten Koch dan ia memerintahkan menyerbu dari Utara dan Selatan. Penyerbuan ini mendapat perlawanan yang hebat dari anak buah Antaluddin dan bekas tentara Belanda suku Bugis, dan setelah roda meriamnya juga hancur, maka kapten koch memerintahkan tentaranya mundur dan kemudian kembali ke Amawang dan ini adalah kali ketiganya kegagalan dari pihak Belanda menggempur benteng Madang.
Kegagalan penyerbuan ini membesarkan semangat perlawanan dari pihak Rakyat Banjar. Namun pihak Hidayat mengetahui benar, bahwa pihak Belanda tentu akan melakukan lagi serangan besar-besaran terhadap benteng Gunung Madang ini. Maka oleh sebab itu, dilakukan pula persiapan-persiapan strategis untuk menghadapi serangan itu.
Berita kegagalan-kegagalan penggempuran berulang-ulang itu telah sampai di Banjarmasin. Mayor Verspyck dengan segera mengirimkan tambahan pasukan infanteri dari batalyon 13 di bawah pimpinan Mayor Schuak. Mendengar tentara Belanda yang berbangsa Indonesia ingkar untuk bertempur, maka hal ini menimbulkan murkanya, dan mereka itu diajukan kedepan pengadilan perang. Demikianlah anggota tentara di bawah Schuak itu hampir seluruhnya terdiri dari orang Eropa. Memang pada ketika itu telah lebih dari 1000 orang diturunkan bertempur di daerah Banjar, di antaranya 91 orang opsir. Pasukan Schuak dikirim dari Banjarmasin menuju Gunung Madang via Amawang datang dengan kapal.
Demikianlah pada tanggal 18 September 1860, untuk keempat kalinya, kelihatan lagi datang pasukan tentara Belanda. Pemimpin tentara Belanda di Amawang Kapten Koch ikut didalam penyerangan di benteng Gunung Madang pada hari itu yang ternyata hari nahasnya. Demang Leman dan Antaluddin dengan gagah berani memimpin pertahanan Gunung Madang. Belanda membawa sebuah houwitser, sebuah meriam berat dan mortir. Belanda menyerang dari jarak 120 meter dengan memuntahkan peluru-peluru meriam. Tentaranya 50 orang diperintahkan menyerbu dari sebelah kanan dan sekian itu pula dari kiri. Dari depan dan belakang meriam telah siap 100 orang untuk bertempur berhadap-hadapan, dan selain dari pada itu tersedia lagi tentara cadangan. Menjelang jam 11 siang, anak buah Demang Leman, dengan gigih mulai membidik tentara2 Belanda yang datang itu.
Letnan Verspyck yang berani mencoba mendekati benteng itu dengan anak buahnya dari sebelah kanan, terguling kena tembak oleh anak buah Temenggung Antaluddin. Setelah pasukan dari samping gagal, dan terpaksa kembali keinduk pasukannya, kapten Koch memerintahkan memajukan barisan meriamnya. Dengan jitu sebuah peluru dari benteng yang ditembakkan Suku Bugis yang ada dibenteng itu mengenai penembak meriam itu, dan ia jatuh tersungkur. Kapten Koch memerintahkan barisan artileri menembaki benteng itu dan ia sendiri menampilkan diri untuk menyaksikan hasil penembakan meriam terhadap benteng itu. Dan pada kesempatan ini pulalah melayang sebuah peluru dari benteng itu yang menembus dada Kapten Koch, pemimpin bala tentara Belanda didaerah Amandit, dan ia tewas pada ketika itu juga. Kedengaran pada ketika itu sorak-sorai dari dalam benteng.
Setelah tewas kapten Koch, pimpinan tentara Belanda menjadi gugup, kocar-kacir dan kemudian mengundurkan diri kembali ke Amawang, dengan sedih menggotong korban-korban.
Beberapa hari setelah kematian kapten Koch itu, benteng Gunung Madang tidak mendapat gangguan dari pihak Belanda. Kesempatan ini dipergunakan untuk mempersiapkan menyambut penggempuran yang ke lima ini. Demang Leman mendapat kabar dari penakawannya, bahwa Amawang telah mendapat lagi bala bantuan dari darat dan juga ada yang datang dengan kapal. Untuk menghadapi serangan hebat itu, Demang Leman dan Temenggung Antaluddin bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin anak buahnya. Pada ketika itu diambil keputusan mengambil siasat akan mengadakan pukulan hebat terakhir dan kemudian sebagian demi sebagian isi benteng akan keluar meninggalkan benteng.
Benarlah pada tanggal 22 September 1860, datanglah kelompok-kelompok pasukan tentara Belanda bergelombang-gelombang menuju ke arah benteng Madang. Kali ini mereka tidak terus mengadakan penyerbuan tapi mereka lebih dulu mendirikan bevak-bevak (kemah-kemah) dan dijaga dengan ketat. Tampak betul pihak Belanda bersiap untuk mengepung benteng gunung Madang itu dengan perhitungan jangka panjang.
Sebaliknya baru saja pasukan yang dipimpin Schuak itu datang, mereka telah disambut dengan tembakan-tembakan dari benteng. Pihak Belanda sendiri rupanya pada hari pertama itu hanya ingin menitikberatkan di dalam persiapan menyusun meriam-meriam dan mortirnya. Barulah pada keesokan harinya mereka mulai menembakkan meriam-meriamnya memuntahkan tidak kurang dari 50 buah peluru dan melemparkan tidak kurang dari 30 granat . Yang mengherankan Belanda adalah sebagian daripada granat itu tidak meledak. Pada hari itu tembak menembak sangat gemuruh. Tampak betapa banyaknya tentara Belanda yang jatuh bergelimpangan, di antaranya ada pula opsir-opsirnya. Pihak Belanda mencoba memperkecil lingkarannya mengepung benteng itu menjelang malam hari.
Tetapi betapa terkejutnya mereka, ketika di sekitar jam 11 malam, pasukan Demang Leman dan Antaluddin tiba-tiba mengadakan serangan besar-besaran dengan menggunakan lila dan senapan. Tembakan yang terus menerus dengan gencarnya ini memuncak di sekitar jam 3 subuh dengan serangan-serangan serempak. Pasukan Belanda saat itu menjadi kucar-kacir dan mundur. Kesempatan inilah dipergunakan Demang Leman dan Temenggung Antaluddin meninggalkan benteng itu, sedang untuk mengelabui pihak Belanda, dari benteng itu terus menerus dilakukan penembakan sampai jam setengah lima subuh.
Dan betapa kecele (kecewa) Belanda ketika mereka dengan merangkak sampai di atas benteng jam 5 subuh, benteng itu telah kosong, hanya ada tinggal bangkai seorang prajurit. Belanda sangat kecewa, karena untuk merebut benteng itu banyak korban di pihaknya termasuk beberapa opsir, ya bahkan seorang dari padanya adalah pemimpin bala tentara Belanda daerah Amandit. Sedang benteng ini barulah dapat direbutnya setelah empat kali kekalahan memalukan, dengan banyak kerugian materil, moril personil.
Pasukan Demang Leman dan Temenggung Antaluddin pada malam itu dengan cerdik dapat memperdaya kepungan Belanda dan seperti direncanakan kemudian bergabung dengan kekuatan pasukan Banjar yang berada di sebelah utara antaranya Batu Mandi. Di antaranya ada pula pasukan-pasukan kecil yang sengaja berpisah dari induk pasukan, masuk menyeludup ke daerah-daerah yang telah diduduki Belanda dan selanjutnya di daerah itu kemudian mengadakan serangan-serangan.
Rombongan yang dipimpin oleh Kiai Cakra Wati berangkat menuju Pamaton. Kiai Cakra Wati adalah pemimpin wanita yang ikut bertempur di mana-mana dengan berpakaian laki-laki dan sangat tangkas berpacu kuda. Biasanya ia diapit oleh beberapa penakawan wanita pula. Salah satu pasukan yang sengaja memisahkan diri di bawah pimpinan Lurah Mira telah menggempur kampung yang kepalanya berpihak kepada Belanda di dalam pertempuran di Gunung Madang. Setelah berhasil melakukan tugas mengadakan pukulan hebat kepada lawan, Lurah Mira dan kawan-kawannya jatuh sebagai Pahlawan di dalam suatu pertempuran.
sumber foto/lukisan >> http://kitlv.pictura-dp.nl/index.php?option=com_memorix&Itemid=28&task=topview&CollectionID=1&RecordID=16388&PhotoID=KLV001000063
Sumber Tulisan >>BB04- Pangiran Hidayatullah http://www.facebook.com/photo.php?pid=4508385&id=207121513050 yang menulis kembali dari buku PERANG BANJAR karangan H.Gusti Mayur S.H. hal 68

Sejarah desa Karang jawa (karangan kai Samlan)

Sejarah Desa Karang Djawa Muka
Nara Sumber: tutuha kampung/ pengamat dan saksi sejarah : Kai Samlan


Desa Karang Djawa adalah salah satu desa tertua di kecamatan Padang Batung, Kandangan, Hss. Sebelum pemekaran, desa Karang Jawa mungkin terluas di kecamatan Padang Batung, dan sekarang desa karang djawa setelah pemekaran terbagi menjadi 2 yaitu desa Karang Jawa muka dan Desa Karang Jawa Hulu dan di batasi oleh sungai kecil cabang sungai Amandit di  Sebelah selatan berbatasan dengan desa sungai Kudung dan desa Karang Jawa adalah hamparan tanah yang subur. Oleh sebab itu masyarakatnya sebagian besar adalah petani.
Soal pendidikan Ds.Karang Djawa sudah lama maju, Masyarakat Karang Jawa muka sudah lama bebas aksara latin dan Aksara arab (tidak buta huruf). Sarana pendidikan juga sdh mempunyai : 1 sekolah SMPN, SD 2 buah, TK 1 Buah, 1 TPA-Al-Qur’an .
Asal Usul / Legenda desa Karang Jawa :
Menurut orang-orang tua Zaman dahulu, nama desa karang djawa diambil dari proses pembauran dari penduduk local dan suku jawa. Konon menurut orang tua , kerajaan Banjar dahulu kala Saling berkunjung dengan Kerajaan Majapahit. Pada saat itu pendatang baru dari tanah Jawa berdatangan ke desa ini. Maka terjadilah suatu pembauran antra penduduk local dan penduduk pendatang dari Jawa, maka desa ini di namakan desa Karang Jawa.

Tokoh Legendaris dari desa Karang Djawa Muka ini mulai Zaman Kebangkitan Nasional dan Zaman Revolusi dan Zaman Kemerdekaan, merdeka dari penjajah Belanda, Inggris dan Jepang. Desa Karang Jawa sangat lah Heriok menentang segala bentuk penjajahan.
Di saat Pergerakan dan kebangkitan Nasional di tokohi oleh,“JULAK JAFAR ” meninggal tahun 1950 di makamkan dijalan gerilya Karang Jawa Muka, Tokoh yang lain pada saat kebangkitan Nasional adalah “TARANG BIN SA’AT ” meninggal  tahun 1974 di makamkan di jalan gerilya.
Di zaman revolusi Kemerdekaan ada tokoh Revolusi yaitu Letnan satu Dumam bin Ahmad, Kapten Samideri Dumam, Ma’rufi bin util, dan Setia Budi, H.M.Yusi Semua meninggal dan di makamkan di desa karang Jawa Muka, itu lah Tokoh revolusi yang berasal dari desa Karang Jawa Muka.
itu lah sekilas tentang desa karang Jawa..
ttd penulis
Rendra

Sejarah Perjuangan dan Mistik di balik Kisah Heroik Perjuangan Rakyat Kandangan, Kalsel

Penulis : Rendra
Email : Ibnezhack@yahoo.co.id
Pada Era Revolusi fisik di Kalimantan selatan, tapatnya di kota Kandangan atau Kab.Hulu Sungai Selatan menyimpan sejarah besar perjuangan rakyat dan pasukan Militer ALRI beserta sejarah Mistik daerah tersebut dan sebuah kampung yang tak pernah dapat di jajah oleh belanda.
Pada waktu penjajahan Kolonial Belanda di Tanah air, pada era revolusi fisik, kota Kandangan adalah salah satu kota Kolonial belanda, atau keresidenan belanda di Kalimantan Selatan. Di kota itu lah pernah terjadi pertempuran dahsyat antra Penjajah Belanda dengan ALRI beserta rakyat kandangan yaitu pertempuran “garis demarkasi”. Di sebuah desa bernama Karang Djawa  adalah saksi bisu pertempuran dahsyat tersebut, pertempuran memperebutkan Batas Garis demarkasi (garis batas kekuasaan Belanda).
Di mana para pejuang-pejuang ALRI dan Rakyat kandangan dengan gigih melawan belanda, salah satu pejuang DIVISI IV ALRI Kalimantan Selatan yang mungkin di kenal namanya ialah “Brigjend.H.Hassan Basry” yg mendapat julukan bapak gerilya Kalimantan ini adalah pencetus Strategi perang gerilya yang akhirnya berhasil menepuk mundur dan menewaskan banyak tentara di pihak belanda. Terlepas dari semua itu para pejuang dan warga desa karang jawa dan sekitarnya tidak hanya bermodal tenaga fikiran dan strategi saja, mereka juga mempunyai sebuah “syarat”,dan memakai sesuatu yg bersifat magis untuk melindungi dirinya, seperti halnya ilmu kekebalan, dll  yg dapat melindungi diri mereka dari senjata para penjajah.




Baju di atas adalah “baju ba wafaq/ rajah” milik seorang komandan pasukan ALRI yaitu Samideri Dumam (masih kakek/ saudara dari nenek  penulis) yang di fungsikan beliau pada masa revolusi fisik pertempuran garis demarkasi desa karang djawa, baju tersebut berfungsi untuk (kekebalan) dari sejata tajam maupun peluru dari senjata api para penjajah. Dan pernah dari kesaksian nyta orang2 tua, beliau pernah beberapa kali menahan tembakan peluru yang di tujukan kepada beliau. Dan Akhirnya beliulah orang yg paling banyak mebunuh dan membantai belanda Pada saat itu di samping itu beliau juga  menguasai beberapa Ilmu kedigdyaan lainnya yg di pergunakaan untuk berperang melawan penjajah.( baju be wafaq/rajah yg pernah di gunakan beliau tersebut kini bisa di lihat di museum perjuangan Kalsel Waja Sampai Kaputing ”WASAKA”, Banjarmasin.)

(babatsal)atau jimat kalung  dan ikat pinggang milik seorang pejuang Kandangan dalam menumpas Belanda. Berfungsi untuk kekebalan.
Selain Benda-Benda di atas banyak Ilmu-Ilmu yang di gunakan dalam menumpas penjajah belanda, dari yg berasal dari suku pedalaman dayak maupun yang bernafas Islami melayu kalimantan, dan untalan dll.
Dalam revolusi fisik dan pertempuran Garis Demarkasi di desa karang jawa para pejuang Kandangan berhasil menumpas para penjajah belanda dan pada akhirnya belanda mendatangkan pasukan khusus mereka yang ganas yang di tarik dari Madura, dan Akhirnya dapat di tumpas. Pada akhirnya penjajah belanda mengalami kekalahan dan mendapat banyak korban di pihaknya, berkat Strategi, kegigihan dan semngat para rakyat dan para Pasukan ALRI beserta rahmat dan anugerah Tuhan pada akhirnya pada tanggal 17 Mei 1949 setelah belanda berhasil di tumpas tepatnya di desa Durian rabung kec. Padang batung yang masih wilayah demarkasi itulah tepat di bacakannya Text proklamasi Kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya di Bumi Kalimantan.
Dan dari dulu hingga sekarang “desa Karang Dawa” adlah desa yang tak pernah Di jajah Belanda Hingga Kemerdekaan Indonesia, Bahkan dengan segala upaya, serangan dan gempuran dari penjajah. Dan itu semua karma Kegigihan para rakyat dan tentra ALRI dari berbagai daerah di Kaliamntan Selatan yang gigih membantu dlm berperang.
Berdsarkan Sejarah dan Histori tersebut orang-orang atau rakyat kandangan cenderung kebanyakan bersifat keras hati, temperamental yang menjadi ciri khas watak rakyat Kandangan hingga Kini, bahkan mereka di kenal adalah orang-orang yang pemberani bahkan ada yg rela mempertaruhkan nyawa meraka dalam berkelahi demi harga keberaniannya.
Bahkan sampai kini Kota kandangan yg di kenal Kota ketupat dan Dodol tersebut di Identikan dengan Ilmu Kekebalan yang ada di Daerah Kalimantan selatan, bahkan kebanyakan Ilmu kebal
Di Kota Kandangan Mngunakkan untlan (minyak yg mempunyai kekuatan magis dengan cara di telan) Bahkan katanya Anak orang No.1 di jaman orde Baru “Toemi Soeharto” pernah di kabarkan pernah berguru Ilmu kebal di Kota ttsb.
“jadi, perjuangan-perjuangan merebut kemerdekaan di bumi nusantra ini juga selalu di sertai dengan Ilmu-ilmu Di luar nalar yang di wariskan oleh Leluhur kita yagn telah menjadi budaya khas orang Indonesia di seluruh nusantra, bahkan orang-orang pribumi yang tangguh seperti Sultan Hasanudin yg berjulukan ayam jago dari timur, Fatahillah, dan byk lagi yg lainnya adalah orang pribumi yang di anggap hebat oleh rang barat”

Adab Mencari Intan di Tanah Banjar

Intan, kata untuk melambangkan gengsi tertinggi bagi para pencinta perhiasan. Bermilyar-milyar rupiah tiap tahunnya uang dibelanjakan orang seluruh dunia untuk memiliki benda satu ini. Di daerah Kalimantan Selatan, Kabupaten Banjar, disinilah intan berada tapi tidak semua orang memiliki kemampuan mendapatkannya. Intan di tanah Banjar adalah hal gaib penuh mistis dan berbagai aturan yang ketat untuk bisa mendapatkannya.
Entah kenapa intan mungkin merupakan satu-satunya hasil bumi tanah Banjar yang tidak bisa dijamah oleh orang asing. Minyak bumi, batu bara, batu besi, emas, dan lainnya bisa saja dengan mudah ditambang, asal dengan alat modern maka hasilnya akan banyak. Tetapi intan tidak semudah itu bisa ‘dijemput’ dari singgasananya di dalam perut bumi.
Pada tahun 1960 – 1970, di Kabupaten Banjar pernah dibuka usaha pertambangan modern dengan pelaksana PT. Aneka Tambang. Lahan garapannya mencapai wilayah 2 kecamatan, sebagaimana pertambangan modern alat yang dipakai adalah alat berat dan mesin-mesin bertenaga raksasa sampai keterlibatan tenaga ahli pertambangan dari luar negeri serta karyawan yang banyak. Tapi hasilnya tidak sebanding dengan modal yang dikucurkan padahal cukup dapat beberapa butir intan saja maka modal pasti balik. Nyatanya selama sepuluh tahun itu tidak pernah mendapatkan hasil memuaskan akhirnya usaha negara ini ditutup dengan kesimpulan wilayahnya tidak layak tambang.
Berbeda dengan masyarakat Banjar yang mendulang disana, dari dulu sampai sekarang mereka masih bisa menemukan beberapa intan dalam setahun cukup untuk membeli rumah dan tanah bahkan beberapa kali pergi haji.  Memang kenyataan yang mengherankan tetapi nyata terjadi, bagi orang pendulangan mencari intan penuh dengan adab-adab yang harus mereka patuhi agar tidak terkena pamali yang mengakibatkan intan lari ke dalam perut bumi. Berikut beberapa aturan pokok yang harus ditaati saat mencari intan di tanah Banjar:
  1. DILARANG, bakacak pinggang (bertolak pinggang), mahambin tangan (jari-jari tangan direkatkan lalu diletakkan di leher seperti bantal), bersiul, dan perbuatan tak senonoh lainnya. Hal ini akan dianggap bentuk kesombongan dan tinggi hati terhadap intan yang akan dijemput.
  2. DILARANG, mengucapkan kata-kata kotor dan ada istilah-istilah tertentu yang harus diganti, misalnya saat menemukan ular di dalam lubang pendulangan maka penyebutannya diganti ‘akar’, kalau bertemu babi hutan maka diganti ‘du-ur’. Saat memasuki lubang pendulangan tidak boleh menyebut kata ‘turun’ meskipun kenyataannya gerakan tersebut turun tetapi harus disebut ‘naik/menaiki’. Ini berhubungan dengan kepercayaan bahwa intan memiliki kekuatan untuk menghindari buruan, istilah ‘naik’ dipakai agar intan mau naik ke permukaan bila intan mendengar kata ‘turun’ maka intan akan kembali masuk Bumi.  Kemudian tidak boleh juga menyebutkan kata ‘jauhkan’ tapi diganti dengan kata parakakan yang berarti tolong dekatkan. Untuk kata ‘makan’ diganti dengan ‘batirak’ atau ‘bamuat’ sebab kata ‘makan’ mengandung pengertian yang sadis seperti binatang memakan binatang lainnya. Hal ini semua dilakukan sebab intan akan menjauhi orang yang berkata tidak sopan.
  3. SAMA SEKALI TIDAK BOLEH menyebut intan dengan sebutan ‘intan’ tetapi HARUS diganti ‘GALUH’ (panggilan kesayangan untuk anak perempuan Banjar). Ini berdasarkan kepercayaan bahwa intan adalah benda yang memiliki kekuatan dan bernyawa sehingga harus mendapat panggilan yang terhormat dan mesra setara dengan sebutan anak kesayangan atau puteri raja. Seringkali ada pendulang yang tidak sengaja menyebut ‘intan’ saat mendapatkan tiba-tiba intan tersebut menghilang atau berganti menjadi batu lain.
  4. TIDAK BOLEH wanita yang sedang haid mendekat di lokasi pendulangan sebab si Galuh sangat membenci orang yang dianggap ‘kotor’ dan selama masih ada wanita yang haid Galuh tidak mau datang.
dulang.jpg
Selain itu ada istilah yang tidak boleh diucapkan yaitu ‘padi/beras/banih’ harus diganti dengan kata ‘biji’, hal ini akibat SUMPAH yang diucapkan intan kepada manusia akibat sakit hatinya intan terhadap perlakuan manusia kepadanya. Konon sumpah ini yang menyebabkan intan di tanah Banjar begitu sulit dicari sampai ke dalam perut Bumi.
Demikian hal tabu yang harus dihindari bagi orang yang ingin mengadu nasib mencari si Galuh di tanah Sultan, tanahnya urang Banjar.

Sabtu, 23 November 2013

ASAL MULA KAMPUNG ULIN

Dahulu, disebuah kampung ada sebuah pohon ulin yang sangat besar. Di pohon ini hidup seekor burung garuda yang sering memakan ternak-ternak milik penduduk yang berdiam di sana. Lama-kelamaan, ternak milik penduduk mulai habis, maka akhirnya burung garuda itu menjadikan anak bayi yang masih di dalam ayunan sebagai santapan makanya. Hal ini tentu saja sangat meresahkan para penduduk yang ada di sana. Para pendudukpun mulai berkumpul dan memikirkan bersama-sama bagaimana caranya agar mereka bisa menyingkirkan burung garuda tersebut yang semakin menjadi-jadi. Ahirnya para pendudukpun bersepakat untuk bersama-sama menebang pohon ulin tersebut agar burung garuda itu tidak lagi bersarang di sana.

Para penduduk berupaya keras agar bisa menumbangkan pohon ulin yang disarangi oleh burung garuda tersebut. Berbagai macam peralatan dan carapun mereka dilakukan, tetapi tidak satupun peralatan penduduk yang mampu menebangnya, bahkan kulit kayunya saja tidak tergores sedikitpun. Merekapun mulai berputus asa karena mereka tidak bisa menebang pohon ulin itu. Sampai pada akhirnya ada seorang tetuha kampung di sana yang berinisiatif untuk mencoba merobohkan pohon tersebut dengan hanya menggunakan sebilah pisau. Diapun mulai mengorek-ngorek secara perlahan akar pohon ulin tersebut. Ajaibnya, apa yang dilakukan oleh tetuha adat untuk menumbangkan pohon ulin raksasa itu mulai membuahkan hasil. Melihat hal tersebut, para penduduk yang lain juga mengikuti apa yang dilakukan oleh tetuha kampung itu. Dan hal yang tidak pernah disangka para penduduk sebelumnya itu ternyata terjadi. Pohon ulin raksasa yang sangat kuat dan kokoh itupun bisa dirobohkan bersama dengan burung garuda yang bersarang di atasnya hanya dengan menggunakan sebuah pisau kecil.

Akhirnya para penduduk kampung itupun bisa hidup kembali tenang, setelah teror yang selama ini selalu nenghantui mereka dari burung garuda yang memakan anak-anak mereka yang masih dalam ayunan sudah tidak ada lagi.

Tempat di mana dulu tumbuh pohon ulin tersebutpun menjadi ramai dan akhirnya terbentuk pasar yang disebut Pasar Ulin, yang pada akhirnya daerah tersebut diberi nama Ulin. Sedangkan bekas tumbuh pohon ulin tadi dibuat sebuah balai yang diberi nama balai Amas. Di mana balai ini dijadikan para warga untuk berbagai macam aruh atau selamatan untuk upacara adat.

Adapun letak kampung Ulin ini berada di Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.

Sedikit tambahan. Konon menurut cerita, karena saking tingginya pohon ulin raksasa itu, pucuk dari pohon ini roboh sampai ke daerah Marabahan, padahal jarak dari kampung tersebut (di daerah Kandangan) sangat jauh dengan daerah Marabahan. Oleh karena, itu daerah tersebut diberi nama Marabahan yang berarti tempat “rabah” atau jatuhnya pohon ulin tersebut.

BATU BERANAK


Dahulu kala, disebuah pohon Ulin yang sangat besar ini hidup seekor burung Garuda yang setiap waktu kerjaannya memakan anak bayi yang masih di dalam ayunan. Karena semakin lama semakin meresahkan, para penduduk kampung bersepakat untuk memikirkan cara bagaimana menyingkirkan burungGaruda tersebut. Pohon Ulin itu mempunyai diameter kira-kira samabesarnya dengan rumah tipe 36. (Gambar bangunan di atas mencerminkan besarnya ukuran pohon kayu ulin tersebut.)

Berbagai macam peralatan dicobakan untuk menebang pohon ulin tersebut tetapi tidak satupun yang mampu menggores batang kayunya. Akhirnya ada seorang tetuha kampung setempat mencoba menumbangkan pohon tersebut dengan sebilah pisau. Dikorek perlahan-lahan akar pohon ulin tersebut dengan hanya menggunakan sebilah pisau kecil tidak disangka-sangka pohon Ulin raksasa inipun roboh bersama burung Garuda di atasnya. Konon, saking tinggi dan besarnya pohon Ulin ini pucuknya sampai roboh ke daerah Marabahan, Barito Kuala (± 50 km dari Banjarmasin, ± 200 km dari Kandangan), sehingga nama daerah itu disebut Marabahan yang berarti tempat rabah (roboh) pohon Ulin tadi.

Setelah keadaan aman,bekas tumbuh pohon Ulin tadi dibuat sebuah balai (ada gambarnya). Dibalai inilah sejak dulu diadakan berbagai macam selamatan dan acara adat setiap tahunnya. Menurut informasi pada malam ahad ini tanggal 20 Oktober 2007 akan diadakan upacara Manaradak di balai tersebut, sebagai tanda awal menanam padi.

Di kampung ini juga ada dua buah tempat yang diyakini penduduk memiliki kesaktian, yaitu Batu Beranak.Tempat batu beranak ini asalnya tidak ada apa-apa, tiba-tiba bermunculan batu-batu memenuhi tempat tersebut sehingga oleh penduduksetempat diberi gelar Batu Beranak. Konon, ukuran batu yang ada disini bisa tumbuh berkembang sampai akhirnya melahirkan batu kecil disekelilingnya, begitu seterusnya seperti siklus hidup manusia.

Pernah ada yang iseng-iseng mencoba mengukur batu tersebut, setiap hari Jumat batu yang sama diukur dan menurut keterangan para saksi batu yang diukur tersebut memang terus bertambah ukurannya. Pernah juga ada orang yang mengambil untuk dibawa pulang ternyata beberapa hari kemudian batunya hilang setelah diperiksa batu yang sama kembali ke tempatnya semula.

Demikian sekilas oleh-oleh cerita dari kampung dan memperkenalkan tempat yang diyakini masyarakat setempat sebagai tempat berkeramat sebagai bagian dari kekayaan budaya Banjar.

Bagi yang penasaran, silakan untuk mengunjungi dua tempat tersebut. Pisau yang digunakan untuk merobohkan pohon Ulin tadi masih disimpan secara turun temurun oleh penduduk kampung, bila berkunjung ke sana bisa mencari informasi lebih lanjut. Untuk sementara diberi photonya dulu.

ASAL MULA NAMA KOTA KANDANGAN


Menurut keterangan penyebutan nama kota Kandangan tersebut sudah ada sejak zaman Kerajaan Banjar. Dari legendanya nama Kandangan terdapat dua versi yaitu : (a) Versi pertama mengatakan bahwa konon pada zaman dahulu kala , pada masa Kerajaan Banjar (sebelum Sultan Surianyah) , terdapat suatu wilayah (Nagaradaha) yang dijadikan sebagai tempat pemeliharaan kerbau. Kerbau di Hulu Sungai disebut juga Hadangan. Di wilayah tersebut banyak terdapat Kandang Kerbau atau Kandang Hadangan. Kemudian lama – kelamaan daerah tersebut berubah nama menjadi Kandangan; (b) Versi kedua menceritakan bahwa pada zaman dahulu, masa Kerajaan Banjar (masa Sultan Suriansyah) terdapat suatu komunitas penduduk yang memaklumatkan ketidaksetujuan mereka atas kekuasan Patih Lambung Mangkurat, lalu mereka membuat benteng/ kandang (kandang diartikan pagar dari kayu/papan yang menunjukkan batas wilayah mereka). Sebutan bagi orang – orang yang berada di dalam Kandang/ Benteng itu disebut orang – orang Kandangan . Cerita tersebut merupakan satu legenda pada masa Kerajaan Banjar.

ID FP: @ [600329713315070:]
(spasi di hilangkan) kalu handak mambagikan, tarima kasih

HIKAYAT PANGLIMA BURUNG ( BULAN JIHAD)

Hikayat Panglima Burung justru menjadi sangat mencuat tatkala terjadi kerusuhan etnis tahun 2001 di Kalimantan Tengah. Saat itu Panglima Burung sebagai tokok gaib Dayak benar-benar dijadikan sandaran dalam menghadapi serangan etnis tertentu dari seberang. Apa boleh buat, sesuatu yang telah dilupakan menjadi bangun ke alam nyata. Lalu siapa Panglima Burung dan bagaimana latar belakang ketokohannya? Inilah sebagian kecil jawabannya, jawaban dari versi Suku Dayak yang mendiami DAS Barito.

Kerusukan etnis yang mulai pecah sejak 18 Pebruari 2001 di Sampit memaksa Panglima Burung hadir dan membantu warga suku Dayak berperang dan mengusir warga etnis Madura. Sebagai Panglima besar, tentu saja Panglima Burung tidak turun sendiri tetapi membawa sejumlah pengawal alias Pasukan Khusus. Kata Abdul Hadi Bondo Arsyad, seorang Temanggung Dayak dari Tumbang Senamang, Katingan Hulu, “Panglima Burung muncul dengan membawa 87 orang pasukan khususnya”. Kata Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali, Ketua Pondok Pesantren Ushuluddin, Martapura, “Panglima Burung (adalah) seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Selain itu ia juga bergelar hajjah”

Disamping Panglima Burung sebagai panglima tertinggi Dayak, rusuh Sampit juga menurunkan beberapa tokoh legenda alam gaib lainnya seperti Panglima Palai, Panglima Api, Panglima Angsa, Panglima Hujan Panas, Panglima Angin dan beberapa panglima sakti lainnya. Yang pasti dari beberapa panglima itu terdapat dua panglima wanita cantik yakni Panglima Burung dan Panglima Api.

Dan kembali kepada keberadaan Panglima Burung yang legendaris, kata Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali (56), “Keberadaannya memang nyata, berwujud seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Panglima Burung sudah ada jauh sebelum Indonesia terbentuk”. Namun begitu, yang mengejut­kan dari penuturan Kiyai Juhran ini adalah karena sosok Panglima Perang Suku Dayak ini juga beragama Islam dan menyandang titel seorang hajjah.

WA Samat dan Adonis Samat bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut keberaniannya luar biasa sekali. Salah satunya adalah saat berperang mendampingi Gusti (Ratu) Zaleha dalam Perang Barito. “Amuk Barito itu terjadi pada tahun 1900-1901, dimana suku-suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Kinyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam atau pun Kaharingan bersatu bahu membahu menghadapi serangan Belanda. Nama-nama pahlawan Banjar seperti Pangeran Antasari Gusti Muhammad Seman dan Gusti Ratu Zaleha selalu bersanding bahu membahu dengan (para pahlawan Dayak seperti) Temanggung Surapati, Antung, Kuing, Temanggung Mangkusari dan lain-lain yang merupakan kesatuan kekuatan dalam perjuangan”.

Dalam rentang perjuangannya melawan kolonialisme Belanda, Panglima Burung yang sangat cantik ini memiliki beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. “Ada yang menyebutnya “Ilum” atau “Itak” namun nama populernya adalah “Bulan Jihad”. Kabarnya, Bulan Jihad memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha kawan seperjuangannya.

Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah puteri Gusti Muhammad Seman, putera Pangeran Antasari yang memimpin Perang Banjar hingga memasuki kawasan Barito Utara dan (Barito) Selatan dengan semboyannya (yang terkenal): “Haram Manyarah, Waja Sampai ka Puting”.

Tjilik Riwut membenarkan keberadaan srikandi Dayak itu tetapi menurut beliau Bulan Jihad (bukan asli Dayak Kalteng tetapi) berasal dari Suku Dayak Kinyah (Kaltim). Yang pasti, “nama Bulan Jihad sangat terkenal diantero Barito Hulu dan Barito Selatan”, imbuh Tjilik Riwut. “Dia pendekar sakti mandraguna, punya ilmu kebal tahan senjata, bisa menghilang dan (mampu) melibas lawan hanya dengan selendang saja. Dia selalu berjuang berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang puteri Banjar”. Dengan demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat dan Adonis Samat (1948) sejalan dengan ceritera Pak Tjilik Riwut (1950).

Tatkala tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal dunia pada tahun 1905, lalu awal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan turun gunung, lantas apa keputusan Bulan Jihad dan sisa prajurit lainnya? Ternyata Bulan Jihad tetap bertekad meneruskan perjuangan dan terus mengembara. Maka terjadilah perpisahan yang sangat memilukan. Dengan berat hati keluarlah Gusti Zaleha dari hutan menuju Muara Teweh dan selanjutnya dia dibawa ke Banjarmasin bersama ibunya Nyai Salmah.

Sejak perpisahan itu, tidak banyak orang yang tahu dimana keberadaan Bulan Jihad dan kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11 Januari 1954, Bulan Jihad datang melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan setempat di Muara Joloi sehingga saat itulah dia baru mengetahui kalau Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun semakin luluh begitu mengetahui sahabat karibnya Ratu Zaleha telah lama meninggal dunia (24 September 1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat pemunculannya dan hari itu pula dia kembali mengembara ke hutan rimba untuk selama-lamanya. Inilah sekilas kisah muslimah Bulan Jihad yang setia berperang mendampingi perjuangan Gusti Puteri Zaleha (1903-1906), bahkan dia terus berjuang melewati masa juang pahlawan anti kolonialis lainnya di tanah Dayak ini.

Dari bukti sejarah yang ditunjukkan pendahulu kita menyatakan fakta bahwa kebulatan tekad persatuan, tekad perjuangan melawan penjajahan tertuang jelas di dalam Perang Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari, Demang Leman, Gusti Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan Jihad, Panglima Batur, Temanggung Mangkusari, Panglima Wangkang dan lainnya, adalah gambaran bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan, Kenyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan. Kata Kiyai Juhran Erpan Ali, “(Sejak) masa itu telah ada kesepakatan tekad bahwa suku Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah berperang sesamanya sampai kapan pun juga”

LEGENDA GUNUNG BATU BANGKAI


Loksado adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Indonesia. Di daerah ini terdapat sebuah gunung yang memiliki nama yang cukup unik, yaitu Gunung Batu Bangkai. Masyarakat setempat menamakannya demikian, karena di gunung tersebut ada sebuah batu yang mirip dengan bangkai manusia.

Konon, kehadiran batu bangkai tersebut berasal dari sebuah cerita legenda yang sampai saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Banjar Hulu di Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Cerita legenda ini mengisahkan tentang seorang anak laki-laki bernama Andung Kuswara yang durhaka kepada umanya. Karena kedurhakaannya, Tuhan menghukum si Andung menjadi batu.

Konon pada zaman dahulu, di suatu tempat di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Andung Kuswara. Ia seorang anak yang baik dan pintar mengobati orang sakit. Ilmu pengobatan yang ia miliki diperoleh dari abahnya yang sudah lama meninggal. Andung dan umanya hidup rukun dan saling menyayangi. Setiap hari mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Andung mencari kayu bakar atau bambu ke hutan untuk membuat lanting untuk dijual, sedangkan umanya mencari buah-buahan dan daun-daunan muda untuk sayur.

Suatu hari, Andung pergi ke hutan seorang diri. Karena keasyikan bekerja, tak terasa waktu telah beranjak senja, maka ia pun bergegas pulang. Di tengah perjalanan, ia mendengar jeritan seseorang meminta tolong. Andung segera berlari menuju arah suara itu. Ternyata, didapatinya seorang kakek yang kakinya terjepit pohon. Andung segera menolong dan mengobati lukanya. “Terima kasih banyak, anakku!” kata orang tua itu. Dia kemudian mengambil sesuatu dari lehernya. “Hanya benda ini yang dapat kai berikan sebagai tanda terima kasih. Mudah-mudahan kalung ini membawa keberun­tungan bagimu,” ucap kakek itu seraya mengulurkan sebuah kalung kepada Andung. Setelah mengobati kakek itu, Andung bergegas pulang ke rumahnya.

Sesampai di rumah, Andung menceritakan kejadian tadi kepada umanya. Usai bercerita, Andung menyerahkan kalung pemberian kakek itu sambil berkata, “Uma, tolong simpan kalung ini baik-baik”. Umanya menerima dan memerhatikan benda itu dengan saksama. “Sepertinya ini bukan kalung sembarangan, Nak. Lihatlah, sungguh indah!” kata Uma Andung dengan takjub. Setelah itu, Uma Andung menyimpan kalung tersebut di bawah tempat tidurnya.

Kehidupan terus berjalan. Pada suatu hari, Andung terlihat termenung seorang diri. “Ya Tuhan, apakah kehidupanku akan seperti ini selamanya? Aku ingin hari depanku lebih baik daripada hari ini. Tapi…bagaimana caranya?” kata Andung dalam hati. Sejenak ia berpikir mencari jalan keluar. Tiba-tiba, terlintas dalam pikiran Andung untuk pergi merantau.

“Hmm…lebih baik aku merantau saja. Dengan begitu aku dapat mengamalkan ilmu pengobatan yang telah aku peroleh dari abah dulu. Siapa tahu dengan merantau akan mengubah hidupku,” gumam Andung dengan semangat.

Namun, apa yang ada dalam pikirannya tidak langsung ia utarakan kepada umanya. Rasa ragu masih menyelimuti hati dan pikirannya. Jika ia pergi merantau, tinggallah umanya sendiri. Tetapi, jika ia hanya mencari kayu bakar dan bambu setiap hari, lalu kapan kehidupannya bisa berubah. Pikiran-pikiran itulah yang ada dalam benaknya.

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Andung benar-benar sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Keraguannya untuk meninggalkan umanya pun lenyap. Dorongan hati Andung untuk merantau sudah tak terbendung lagi. Suatu hari, ia pun mengutarakan maksud hatinya kepada umanya. “Uma, Andung ingin mengubah nasib kita. Andung memutuskan untuk merantau ke negeri seberang. Oleh karena itu, Andung mohon izin dan doa restu, Uma,” kata Andung dengan hati-hati memohon pengertian umanya. “Anakku, sebenarnya Uma sudah bersyukur dengan keadaan kita saat ini. Tetapi, jika keinginan hatimu sudah tak terbendung lagi, dengan berat hati Uma akan melepas kepergianmu,” sahut Uma Andung memberikan izin.

Setelah mendapat restu dari umanya, Andung segera berkemas dengan bekal seadanya. Andung membawa masing-masing sehelai kain, baju dan celana. Memang hanya itu yang ia miliki. Ketika Andung hendak meninggalkan gubuk reotnya, Uma berpesan kepadanya. “Andung ..., ingatlah Uma! Ingat kampung halaman dan tanah leluhur kita. Jangan pernah melupakan Tuhan Yang Mahakuasa. Walau berat, Uma tak bisa melarangmu pergi. Jika takdir menghendaki, kita tentu akan berkumpul kembali,” kata sang Uma dengan sedihnya.

Mendengar nasihat umanya, Andung tak kuasa menahan air matanya. “Andung, bawalah kalungmu ini. Siapa tahu kelak kamu memerlukannya,” ujar Uma Andung melanjutkan. Setelah menerima kalung itu, Andung kemudian berpamitan kepada umanya. Andung mencium tangan umanya, lalu umanya membalasnya dengan pelukan erat. Sesaat, suasana haru pun meliputi hati keduanya. Ketika Uma memeluk Andung, beberapa tetes air mata mengucur dari kelopak matanya, jatuh di atas pundak Andung.

“Maafkan Andung, Uma! Andung berjanji akan segera kembali jika sudah berhasil,” kata Andung memberi harapan kepada umanya.

“Iya Nak. Cepatlah kembali kalau sudah berhasil! Hanya kamulah satu-satunya milik Uma di dunia ini,” jawab Uma penuh harapan.

Beberapa saat kemudian, Uma berucap kepada Andung. “Segeralah berangkat Andung, agar kamu tak kemalaman di tengah hutan.”

Andung mencium tangan umanya untuk terakhir kalinya, lalu pamit. Andung berangkat diiringi lambaian tangan Uma yang sangat dikasihinya. “Selamat jalan, anakku. Jangan lupa cepat kembali,” teriak Uma dengan suara serak. “Tentu, Uma!” sahut Andung sambil berjalan menoleh ke arah umanya. “Jaga diri baik-baik, Uma! Selamat tinggal! Uma baru beranjak dari tempatnya setelah Andung yang sangat disayanginya hilang di balik pepohonan hutan. Sejak itu, tinggallah Uma Andung sendirian di tengah hutan belantara.

Berbulan-bulan sudah Andung meninggalkan umanya. Andung terus berjalan. Banyak kampung dan negeri telah dilewati. Berbagai pengalaman didapat. Ia juga telah mengobati setiap orang yang memerlukan bantuannya.

Suatu siang yang terik, tibalah Andung di Kerajaan Basiang yang tampak sunyi. Saat menyusuri jalan desa, Andung bertemu dengan seorang petani yang kulitnya penuh dengan koreng dan bisul. Andung kemudian mengobati petani itu. Dari orang tersebut Andung mengetahui jika Negeri Basiang sedang tertimpa malapetaka berupa wabah penyakit kulit. Karena berhutang budi kepada Andung, orang itu mengajak Andung tinggal di rumahnya. Setiap hari, penduduk yang terjangkit penyakit berdatangan ke rumah orang tua itu untuk berobat kepada Andung. Seluruh penduduk yang telah diobati oleh Andung sembuh dari penyakitnya. Berita perihal kepandaian Andung dalam mengobati pun menyebar ke seluruh negeri.

Suatu hari, berita kepandaian Andung mengobati penyakit tersebut akhirnya sampai ke telinga Raja Basiang. Sang Raja pun mengutus hulubalang menjemput Andung untuk mengobati putrinya. Beberapa lama kemudian, hulubalang tersebut sudah kembali ke istana bersama Andung. Andung yang miskin dan kampungan itu sangat takjub melihat keindahan bangunan istana. Ia berjalan sambil mengamati setiap sudut istana yang dihiasi ratna mutu manikan. Tak disadari, ternyata sang Raja sudah ada di hadapannya. Andung pun segera memberi salam dan hormat kepadanya. “Salam sejahtera, Tuanku,” sapa Andung kepada Baginda.

Sang Raja menyambut Andung dengan penuh harapan. Dia kemudian menyampaikan maksudnya kepada Andung. “Hai anak muda! Ketahuilah, putriku sudah dua minggu tergolek tak berdaya. Semua tabib di negeri ini sudah saya kerahkan untuk mengobatinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkannya. Apakah kamu bersedia menyembuhkan putriku?” tanya sang Raja. “Hamba hanya seorang pengembara miskin. Pengetahuan obat-obatan yang hamba miliki pun sedikit. Jika nantinya hamba gagal menyembuhkan Tuan Putri, hamba mohon ampun Paduka,” kata Andung merendah.

Andung pun dipersilakan masuk ke kamar Putri. Putri tergolek kaku di atas pembaringannya. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya tertutup rapat. Walupun pucat pasi, wajah sang Putri tetap memancarkan sinar kecantikannya. “Aduhai, cantik sangat sang Putri,” ucap Andung menaruh hati kepada sang Putri. Sesaat kemudian, Andung pun mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk membangunkan sang Putri. Namun, sang Putri tetap tak bergerak. Andung mulai panik.

Tiba-tiba, hati Andung tergerak untuk mengambil kalung pemberian kakek yang ditolongnya dulu. Andung meminta kepada pegawai istana agar disiapkan air dalam mangkuk. Setelah air tersedia, lalu Andung segera merendam kalungnya beberapa saat. Kemudian air rendaman diambil dan dibacakan doa, lalu ia percikkan beberapa kali ke mulut sang Putri. Tak berapa kemudian, sang Putri pun terbangun. Matanya yang kuyu perlahan-lahan terbuka. Wajahnya segar kembali. Akhirnya, Putri dapat bangkit dan duduk di pembaringan.

Semua penghuni istana turut bergembira dan merayakan kesembuhan sang Putri. Paduka Raja sangat berterima kasih atas kesembuhan putri satu-satunya yang sangat ia cintai Atas jasanya tersebut, Andung kemudian dinikahkan dengan sang Putri. Pesta perkawinan dilaksanakan tujuh hari tujuh malam. Semua rakyat bersuka ria merayakannya. Putri tampak berbahagia menerima Andung sebagai suaminya. Demikian pula Andung yang sejak pandangan pertama sudah jatuh cinta pada sang Putri. Mereka berdua melalui hari-hari dengan hidup bahagia.

Minggu dan bulan terus berganti. Istri Andung pun hamil. Dalam kondisi hamil muda sang Putri mengidam buah kasturi yang hanya tumbuh di Pulau Kalimantan. Karena cintanya kepada sang Putri begitu besar, Andung pun mengajak beberapa hulubalang dan prajurit untuk ikut bersamanya mencari buah kasturi ke Pulau Kalimantan.

Setibanya di Pulau Kalimantan, Andung berangkat ke daerah Loksado untuk mencari sebatang pohon kasturi yang dikabarkan sedang berbuah di sana. Alangkah terkejutnya Andung, karena pohon kasturi itu berada tepat di depan rumahnya dulu. Andung segera mengajak hulubalang dan para prajuritnya kembali. Rupanya ia tidak mau bertemu dengan umanya.

Mendengar keributan di luar rumahnya, seorang nenek tua renta berjalan terseok-seok menuju ke arah rombongan tersebut. “Andung..., Andung Anakku...!” suara nenek tua yang serak memanggil Andung. Dengan terbungkuk-bungkuk nenek itu mengejar rombongan Andung.

Andung menoleh. Ia tersentak kaget melihat sang Uma yang dulu ditinggalkannya sudah tua renta. Karena malu mengakui sebagai umanya, Andung membentak, “Hai nenek tua! Aku adalah raja keturunan bangsawan. Aku tidak kenal dengan nenek renta dan dekil sepertimu! ujar Andung kemudian memalingkan muka dan pergi.

Hancur luluh hati sang Uma dibentak dan dicaci maki oleh putra kandungnya sendiri. Nenek tua yang malang itu pun berdoa, “Ya, Tuhan Yang Mahakuasa, tunjukkanlah kekuasaan dan keadilan-Mu,” tua renta itu berucap pelan dengan bibir bergetar. Belum kering air liur tua renta itu berdoa, halilintar sambar-menyambar membelah bumi. Kilat sambung-menyambung. Langit mendadak gelap gulita. Badai bertiup menghempas keras. Tak lama kemudian, hujan lebat tumpah dari langit. Andung berteriak dengan keras, “Maafkan aku, Uma...!” Tapi siksa Tuhan tak dapat dicabut lagi. Tiba-tiba Andung berubah menjadi batu berbentuk bangkai manusia.

Sejak itu, penduduk di sekitarnnya menamai gunung tempat peristiwa itu terjadi dengan sebutan Gunung Batu Bangkai, karena batu yang mirip bangkai manusia itu berada di atas gunung. Gunung Batu Bangkai ini dapat dijumpai di Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.

ID FP: @ [600329713315070:]
(spasi di hilangkan) kalu handak mambagikan, tarima kasih