Wisata Balanting Paring (Bamboo Rafting) dan Lomba Lanting Hias
Maarak Panganten Tahun 2013. Start : Loksado - Pagar Haur (Sabtu, 28
Desember 2013). Finish : Sungai Amandit (Lapangan Lambung Mangkurat,
Kandangan) Minggu, 29 Desember 2013.
Minggu, 29 Desember 2013
Kamis, 19 Desember 2013
CAGAR ALAM GUNUNG KANTAWAN
Cagar
alam Gunung Kantawan terletak di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di
kawasan seluas sekitar 245 ha ini, hiduplah aneka jenis flora dan fauna. Cagar
Alam Gunung Kantawan menjadi kawasan konservasi untuk melindungi anggrek hutan, owa-owa
(hyolobatus muelarri), bekantan, dan beberapa jenis burung.
Gunung Kantawan lebih dikenal sebagai lambang
dari kawasan Loksado karena letaknya strategis dan dapat dilihat dari berbagai
penjuru. Gunung ini berupa gunung batu yang ditumbuhi pepohonan di
sekelilingnya. Letak kawasan ini sekitar 28 kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai
Selatan. Untuk mencapainya hnaya dapat dilakukan dengan berjalan kaki melewati
Desa Lumpangi, Muara Hatip, dan Datar Belimbing / Hulu Banyu.
Kawasan Loksado memiliki hutan primer
ditumbuhi pepohonan dan kayu-kayu yang beraneka ragam. Jenis pohon yang tumbuh
di wilayah ini seperti meranti, sungkai, ulin, karet, kayu manis, jeis pohon
buah-buahan serta aneka jenis anggrek. Di dalam hutan juga hidup berbgai satwa
seperti : kijang, kancil, macan, beruang, aneka jenis kera, stwa melata dan
jenis burung sepeerti : raja udang, enggang, dan ayam hutan. Disana hidup pula
kupui-kupu dengan aneka warna yang menawan.***
sumber ; http://sketsahss212.blogspot.com/2013/11/ktah-5.html
KISAH LOKSADO
Dahulu Jaman
Kerajaan Banjar ada beberapa Datu, yang tinggal daerah tarbalimbing,
mereka adalah sekumpulan orang orang sangat disegani dan sakti di daerah
tersebut dan pada jaman Raja-Raja saat itu mereka sering melakukan
Perampokan. Karena kesaktiannya tidak ada yang bisa menangkap para Datu
tersebut, akhirnya Raja Banjar berumanat siapa yang bisa mengalahkan Datu
tersebut di beri hadiah, dan konon di daerah tersebut ada yang bernama
Datu Kilat yang menyanggupinya bisa mengalahkan mereka, akhirnya terjadilah
perkelahian Datu Kilat dengan Datu Maangat, Datu Mabamban dan Datu
mambulu, akhirnya Para Datu tersebut dapat dikalahkan oleh datu Kilat, pada
saat ditangkap dan diikat, tidak ada satu senjata, mandau yang melukai kulit
Datu Maangat, Datu Mabamban dan Datu mambulu, akhirnya datu mambulu mengatakan
bahwa mereka hanya bisa dibunuh dengan pisau yang dibawanya namun sebelum
meninggal datu tersebut bersumpah bahwa "samuga sidin nini
bahatara mandangarakan sumpahku anak cucuku dada ada nu jadi parampuk harus
barada di pamarintahan amun ada nang jadi parampuk jadi paramuk sasakali" dan
memang sulit dipercaya tapi sumpah tersebut sampai sekarang masih berlaku .
Anak Datu Malamun beliau mengetahui orang tuanya mati melarikan diri kedaerah
Sampanahan yg sekarang menjadi wilayah kab.Banjar dan beliau bertapa disana,
dan entah kenapa akhir dari pertapaannya lalu beliau dipanggil oleh Raja pada
saat itu dan diangkat menjadi Tumenggung kepala adat di daerah pegunungan
Meratus, lalu beliau Datu Malamun berangkat ke pahuluan sungai hamandit
yakni Haratai yang sekarang terkenal dengan objek wisata air terjunnya. lalu
beliau memiliki 5 (lima) orang putra yang bernama Datu Raya, Datu Tuuk, Datu
Bungsu dan 2 saudara lainnya yang tidk diketahui keberadaannya lalu merekalah
yang membentuk "balai" bernama" TARLIANG" dan pada
saat itu temenggungya adalah Temenggung Malamun.
Pada waktu
itu "Balai tarliang" menjadi pusat adat yang terkenal di hulu sungai
Hamandit dikarenakan beliau yang menjadi tumenggung yang disegani oleh
masyarakat adat waktu itu, sampai terdengar kemakmurannya ke kerajaan banjar,
lalu pada saat itu Raja memerintahkan Laskar untuk meminta Upeti kepada
masyarakat "balai" yang mendiami "TARLIANG" mendengar kabar
tersebut masyarakat berbondong-bondong menyimpan hartanya yang menurut cerita
mulut ke mulut emas sepanjang sumpitan banyaknya, sumpit senjata khas
dayak, piring melawin sepanjang ukuran manusia dewasa tingginya, gong dan
sebagainya harta benda disimpan di tempat tersembunyi bernama "Liang
Bandu" yang sampai sekarang masih diperdebatkan oleh masyarakat setempat
keberadaannya.Pada saat itu Laskar akhirnya sampai ke "balai
Tarliang" namun tidak memperoleh apapun, akhirnya mereka kembali pulang ke
kerajaan Banjar.
Pada suatu waktu ada
acara "aruh" yaitu pesta adat Dayak bersyukur atas hasil panennya
yang melimpah, saat itu diramaikan dengan acara adat "Babansai" yakni
menari yang diiringi musik Gendang, Sarunai, pada kala itu ada seorang wanita
yang baru 3(tiga) hari melahirkan, saking mendengar indahnya suara Serunai yang
dimainkan orang dari Sampanahan yang sekarang termasuk Kab.Banjar, akhirnya dia
ikut menari dengan semangat, pada saat itu Datu ayah dari sidin Pangirak
suaminya yang dikenal sangat berani pada saat itu marah, karena melihat
istrinya menari tanpa ingat waktu, lalu memukul mulut pemain serunai tersebut
sampai berdarah... akhirnya orang tersebut karena kalah lalu pulang ke daerah
asalnya, karena sebuah dendam , lalu di taruhlah oleh orang tersebut yang
bernama minyak "sampun" yakni minyak yang memiliki magis sangat kuat
untuk membunuh setiap orang yang berada dikawasan yang ditaruh minyak tersebut,
setelah di taruh minyak.
sumber ; http://sketsahss212.blogspot.com/2013/11/kisah-loksado.html
Rabu, 11 Desember 2013
KALAYANGAN DANDANG
Kalayangan dandang ni kalayangan yang ganal banar dan ditambah bagian khusus yang bisa mengaluarakan bunyi pas tarabang.
Urang wayahini banyak yang kada katuju dan mau haja kada tahu lawan kalayangan dandang, padahal ini adalah salah satu warisan budaya dari urang tutuha kita. Kalayangan yang ganal lawan pulang bisa babunyi, karena bunyi nya inilah biasanya yang maulah urang katuju. Biasanya kada hagan baramian haja kalayangan dandang ini, biasanya ini dilombaakan, babaikan bunyi, balawasan tarabang dll. Kalo di Hulu Sungai Selatan, urang yang katuju lawan kalayangan dandang ini banyak di daerah kecamatan sungai raya dan kecamatan simpur, makanya rancak di situ tu diadakan lomba kalayangan dandang
————————————–
Layang-Layang Dandang merupakan layang-layang yang besar dan ditambah dengan bagian khusus yang bbisa mengeluarkan suara ketika terbang.
Orang sekarang banyak tidak suka dan bahkan mungkin tidak tahu dengan layang-layang dandang, padahal ini adalah salah satu
warisan budaya nenek moyang kita. Layang-layang yang besar dan bisa bersuara karena suara nya inilah biasanya yang membuat orang suka. Biasanya bukan sekedar untuk hiburan, biasanya layang-layang dandang ini diperlombakan siapa yang paling baik suaranya, yang paling lama terbangnya dll. Kalau di Hulu Sungai Selatan, orang yang suka dengan layang-layang dandang ini banyak di daerah kecamatan sungai raya dan simpur, sehingga sering di daerah sana diadakan lomba layang-layang dandang.
Sebenarnya Kata dandang, diambil dari sebutan alat memasak nasi di daerah Kalimantan Selatan berupa sejenis panci. Zaman dulu, di beberapa daerah layang-layang dimainkan untuk mengusir burung di sawah. Layang-layang paling sederhana terbuat dari helai daun yang diberi kerangka dari bambu dan diikat dengan serat rotan. Untuk Festival Di selenggarakan pada setiap tahun dan pada Musim Kemarau atau lebih tepatnya sehabis panen padi.
Untuk Lebar dandang 4m dan tinggi 12m termasuk buntut dandang, menaikan dandang harus Lebih dari 1 oarang minimal 5 orang.
sumber :: http://avivsyuhada.wordpress.com/2011/12/27/kalayangan-dandang/
Urang wayahini banyak yang kada katuju dan mau haja kada tahu lawan kalayangan dandang, padahal ini adalah salah satu warisan budaya dari urang tutuha kita. Kalayangan yang ganal lawan pulang bisa babunyi, karena bunyi nya inilah biasanya yang maulah urang katuju. Biasanya kada hagan baramian haja kalayangan dandang ini, biasanya ini dilombaakan, babaikan bunyi, balawasan tarabang dll. Kalo di Hulu Sungai Selatan, urang yang katuju lawan kalayangan dandang ini banyak di daerah kecamatan sungai raya dan kecamatan simpur, makanya rancak di situ tu diadakan lomba kalayangan dandang
————————————–
Layang-Layang Dandang merupakan layang-layang yang besar dan ditambah dengan bagian khusus yang bbisa mengeluarkan suara ketika terbang.
Orang sekarang banyak tidak suka dan bahkan mungkin tidak tahu dengan layang-layang dandang, padahal ini adalah salah satu
warisan budaya nenek moyang kita. Layang-layang yang besar dan bisa bersuara karena suara nya inilah biasanya yang membuat orang suka. Biasanya bukan sekedar untuk hiburan, biasanya layang-layang dandang ini diperlombakan siapa yang paling baik suaranya, yang paling lama terbangnya dll. Kalau di Hulu Sungai Selatan, orang yang suka dengan layang-layang dandang ini banyak di daerah kecamatan sungai raya dan simpur, sehingga sering di daerah sana diadakan lomba layang-layang dandang.
Sebenarnya Kata dandang, diambil dari sebutan alat memasak nasi di daerah Kalimantan Selatan berupa sejenis panci. Zaman dulu, di beberapa daerah layang-layang dimainkan untuk mengusir burung di sawah. Layang-layang paling sederhana terbuat dari helai daun yang diberi kerangka dari bambu dan diikat dengan serat rotan. Untuk Festival Di selenggarakan pada setiap tahun dan pada Musim Kemarau atau lebih tepatnya sehabis panen padi.
Untuk Lebar dandang 4m dan tinggi 12m termasuk buntut dandang, menaikan dandang harus Lebih dari 1 oarang minimal 5 orang.
sumber :: http://avivsyuhada.wordpress.com/2011/12/27/kalayangan-dandang/
KANDANGAN CING AE !!!!!!!
Istilah “Kandangan Cing-ai” sendiri agaknya sulit dilacak dari mana,
oleh siapa dan sejak kapan digunakan. Slogan ini barangkali hanya
sebagai ungkapan gagah-gagahan untuk manggaratap orang lain di masa
lalu. Kebiasaan itu diwariskan secara oral dari generasi ke generasi
dalam masyarakat urang Kandangan. Namun ungkapan tersebut belakangan
seperti tak punya “taring” lagi di kalangan masyarakat Kandangan
sendiri. Bahkan jika ada orang yang melontarkan ungkapan tersebut justru
terdengar mambari supan karena cenderung menampilkan profil urang
Kandangan yang primitif, udik dan kampungan. Mereka yang masih bangga
menyuarakan ungkapan “Kandangan Cing-ai” harus mereduksi kembali kadar
intelektualitas dan spritualitasnya. Mambari supan tahulah, Dangsanak!
Upaya dalam kaitannya untuk menghapuskan image “seram” dan “primitif” tentang Kandangan, lebih khusus mengenai ungkapan “Kandangan Cing-ai” itu sudah lama dan banyak dilakukan oleh berbagai pihak dari waktu ke waktu, baik dari kalangan pemuka agama, tokoh masyarakat, unsur pemuda, hingga oleh pihak pemerintah daerah. Upaya tersebut juga dibuktikan dengan tampilnya putra-putra terbaik Kandangan di tingkat daerah maupun nasional sebagai birokrat, politikus, akademisi, agamawan, budayawan, seniman dan olahragawan. Di Kandangan, juga teduh dengan suasana keberagamaan dan kebersamaan, meskipun dalam beberapa hal masih dalam ranah simbolisme dan formalisme. Di Kandangan pula, melalui observasi pribadi dan riset tidak resmi yang penulis lakukan, gadis-gadisnya terkenal cantik-cantik dan ranum-ranum, senantiasa menguarkan semerbak masa muda remaja masa kini. Akayaaah…
Trauma intimidasi sebagai daerah eks jajahan di masa lampau, menyebabkan kultur urang Kandangan menjadi korban pembekuan selama beberapa dasawarsa di bumi Antaludin itu. Tetapi sekarang, dengan berkembangnya budaya-budaya baru dalam dunia pergaulan, pendidikan, ekonomi dan informasi, kita harapkan pembekuan itu segera “mencair” ke arah yang positif. Karena kita semua tahu, bahwa budaya kultural urang Kandangan yang berusia ratusan tahun itu sebenarnya tak tersangkut, bahkan kontradiktif, dengan lembaran hitam dalam sejarah kita sebagai manusia.
Dalam konteks kekinian, sikap dan jiwa “pemberontak” urang Kandangan terhadap ekspansi kaum penjajah di masa lalu kepada masyarakat di daerah ini mesti tetap kita lestarikan dan budayakan. Sekarang kita mesti “angkat senjata” terhadap segala bentuk tindak kesewenang-wenangan yang dilakukan setiap “penjajah” yang mencoba memperkosa hak-hak rakyat dhu’afa di daerah ini, termasuk para pemangku birokrat daerah ini yang doyan menggerogoti dan mambantas duit rakyat dengan semena-mena. Pun bagi para politikus busuk yang saat ini lagi obral janji demi merampas hak-hak dan menginjak-injak harkat serta harga diri kita sebagai urang Kandangan yang punya martabat. Kandangan Cing-ai!
Apalagi dalam suasana demokratisasi saat ini, kita mesti memegang kukuh semangat kebersamaan sebagai warga urang Kandangan yang bermartabat itu. Tetapi, seperti kata budayawan Burhanuddin Seobely, citra kebersamaan tidaklah sesempit unggut-unggut tarus nang kaya bilatuk manabuk sarang. Kebersamaan tidaklah menafikan kritik. Kebersamaan tidaklah mengharamkan teguran. Kebersamaan tidaklah meminggirkan pendapat orang lain atau merasa ampun saurang haja nang pambujurnya, apalagi rasnang nang kaya mandur Ulanda. Kebersamaan adalah juga keterbukaan dalam memberi dan menerima. Ketulusan tagur-managur atawa ingat-maingati kayuhan jukung ampah manumbuk ambul.
“Kandangan Cing-ai!” Mendengar kata itu memang tidak selamanya tubuh kita merasa panas. Tetapi seperti ada yang tiba-tiba terbakar! []
Aliman Syahrani
urang Kandangan
sumber :: http://kucapa.blogspot.com/2010/06/kandangan-cing-ai.html
Upaya dalam kaitannya untuk menghapuskan image “seram” dan “primitif” tentang Kandangan, lebih khusus mengenai ungkapan “Kandangan Cing-ai” itu sudah lama dan banyak dilakukan oleh berbagai pihak dari waktu ke waktu, baik dari kalangan pemuka agama, tokoh masyarakat, unsur pemuda, hingga oleh pihak pemerintah daerah. Upaya tersebut juga dibuktikan dengan tampilnya putra-putra terbaik Kandangan di tingkat daerah maupun nasional sebagai birokrat, politikus, akademisi, agamawan, budayawan, seniman dan olahragawan. Di Kandangan, juga teduh dengan suasana keberagamaan dan kebersamaan, meskipun dalam beberapa hal masih dalam ranah simbolisme dan formalisme. Di Kandangan pula, melalui observasi pribadi dan riset tidak resmi yang penulis lakukan, gadis-gadisnya terkenal cantik-cantik dan ranum-ranum, senantiasa menguarkan semerbak masa muda remaja masa kini. Akayaaah…
Trauma intimidasi sebagai daerah eks jajahan di masa lampau, menyebabkan kultur urang Kandangan menjadi korban pembekuan selama beberapa dasawarsa di bumi Antaludin itu. Tetapi sekarang, dengan berkembangnya budaya-budaya baru dalam dunia pergaulan, pendidikan, ekonomi dan informasi, kita harapkan pembekuan itu segera “mencair” ke arah yang positif. Karena kita semua tahu, bahwa budaya kultural urang Kandangan yang berusia ratusan tahun itu sebenarnya tak tersangkut, bahkan kontradiktif, dengan lembaran hitam dalam sejarah kita sebagai manusia.
Dalam konteks kekinian, sikap dan jiwa “pemberontak” urang Kandangan terhadap ekspansi kaum penjajah di masa lalu kepada masyarakat di daerah ini mesti tetap kita lestarikan dan budayakan. Sekarang kita mesti “angkat senjata” terhadap segala bentuk tindak kesewenang-wenangan yang dilakukan setiap “penjajah” yang mencoba memperkosa hak-hak rakyat dhu’afa di daerah ini, termasuk para pemangku birokrat daerah ini yang doyan menggerogoti dan mambantas duit rakyat dengan semena-mena. Pun bagi para politikus busuk yang saat ini lagi obral janji demi merampas hak-hak dan menginjak-injak harkat serta harga diri kita sebagai urang Kandangan yang punya martabat. Kandangan Cing-ai!
Apalagi dalam suasana demokratisasi saat ini, kita mesti memegang kukuh semangat kebersamaan sebagai warga urang Kandangan yang bermartabat itu. Tetapi, seperti kata budayawan Burhanuddin Seobely, citra kebersamaan tidaklah sesempit unggut-unggut tarus nang kaya bilatuk manabuk sarang. Kebersamaan tidaklah menafikan kritik. Kebersamaan tidaklah mengharamkan teguran. Kebersamaan tidaklah meminggirkan pendapat orang lain atau merasa ampun saurang haja nang pambujurnya, apalagi rasnang nang kaya mandur Ulanda. Kebersamaan adalah juga keterbukaan dalam memberi dan menerima. Ketulusan tagur-managur atawa ingat-maingati kayuhan jukung ampah manumbuk ambul.
“Kandangan Cing-ai!” Mendengar kata itu memang tidak selamanya tubuh kita merasa panas. Tetapi seperti ada yang tiba-tiba terbakar! []
Aliman Syahrani
urang Kandangan
sumber :: http://kucapa.blogspot.com/2010/06/kandangan-cing-ai.html
TAHULAH PIAN ?
1. Tahukah kalian bahwa nama Barito, Kandangan dan Tabalong di propinsi
Kalimantan Selatan sudah ada di dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu
Prapanca pada tahun 1365 M.
2. Kenapa Kandangan di sebut Bumi Antaluddin ? Karena Antaluddin diambil dari nama seorang tokoh pahlawan dalam perang madang untuk mempertahankan benteng di gunung madang Kandangan pada tahun 1860 M.
3. Wisata alam Loksado dan kolam pemandian air panas Tanuhi adalah tempat rekreasi yang sangat sering dikunjungi masyarakat Kandangan dan sekitarnya.
4. Tahukah kalian di lapangan tenis Tumpang Talu di Kandangan dulunya adalah tempat pemakaman orang Belanda dan orang Cina.
5. Kuliner Kota Kandangan yang sangat sayang kalau dilewatkan ketika anda berkunjung ke Kandangan adalah Ketupat Kandangan, Dodol Kandangan dan Lamang Kandangan.
6. Tahukah kalian kalau makan Ketupat Kandangan di Kota Kandangannya sendiri sudah jadi tradisi turun temurun ketika memakannya langsung di remas-remas pakai tangan tanpa menggunakan sendok.
7. Saya sangat senang untuk Wikipedia Indonesia, karena Dodol Kandangan di jadikan salah satu dari berbagai macam dodol di Indonesia yang mempunyai ciri khas tersendiri.
8. Mau tahu kelebihan Lamang Kandangan? Lamang Kandangan bisa bertelur di dalamnya.Maksudnya Lamang Kandangan ada ciri khas tersendiri dengan ada telor asin di dalamnya, juga rasa lemak lamangnya yang lain dari yang lain.
9. Selain di Jawa dengan Karto Soewiryo, Sumatera dengan Daud Bereuh dan Sulawesi dengan Kahar Muzakarnya, di Kandangan Kalimantan Selatan juga pernah terjadi peristiwa Gerakan Darul Islam atau DI/TII untuk mendirikan Negara Islam.Di Kandangan Pasukan DI/TII itu dikenal masyarakat dengan Gerombolan Pemberontak Ibnu Hajar,yang di pimpin oleh Ibnu Hajar atau Angli yang berasal dari Ambutun, Kandangan.
10. Apakah kalian pernah memperhatikan di tiap Kota di Kalimantan Selatan ini ada memiliki patung-patung, dan di Kota Kandangan sendiri ada patung tentara(sepengetahuan saya patung di tiap-tiap kota itu punya makna tersendiri akan kotanya).
11. Mungkin belum banyak yang tahu bahwa Pahlawan Nasional Kedua Kalimantan Selatan setelah Pangeran Antasari yang di akui Pemerintah Indonesia adalah Brigjen H. Hasan Basry sebagai Bapak Gerilya Kalimantan.Dan beliau sendiri adalah orang Padang Batung, Kandangan yang dimakamkan di bundaran Liang Anggang,Banjarbaru.
12. Itulah kenapa seharusnya generasi muda di Kandangan bisa meneladani beliau dengan semangat perjuangannya memerdekakan Kalimantan Selatan,kita boleh bangga karena tiap jalan di Kota-kota di Kalimantan Selatan selalu menggunakan Nama beliau,contohnya Jl.Brigjen H. Hasan Basry di kayu tangi, Banjarmasin dll.
13. Tapi tahukah kalian bahwa Markas Yonif Tentara 621 Manuntung di Kandangan itu dulunya adalah sebuah benteng yang penuh dengan sejarah tentang perjuangan Rakyat Kandangan melawan penjajah Belanda, dan dikenal dengan Benteng Hamawang.
14. Bersyukurlah warga Kandangan karena jasa-jasa Dak'wah tanpa pamrih Datu Taniran, Datu Balimau dan Para Habaib yang dikuburkan di Lumpangi, sehingga menjadikan Islam Mayoritas Di Kota Kandangan.
15. Tahukah kalian arti dari nama asrama Kandangan dimana kawan-kawan kita yang menuntut ilmu mendiaminya seperti asrama Amuk Hantarukung, asrama Rakat Mufakat atau asrama Bukhari.
16. Amuk Hantarukung adalah sebuah peristiwa bersejarah di Kandangan, dimana Bukhari seorang pahlawan di desa Hantarukung mengadakan pemberontakan secara membabi buta terhadap Belanda yang lebih dikenal dengan Perang Amuk Hantarukung 19 September 1899.
17. Masyarakat Kandangan harus di ingatkan kembali bahwa Kuburan Tumpang Talu di Parincahan itu adalah makam para pahlawan dalam perang Amuk Hantarukung, kenapa namanya Tumpang Talu, karena orang yang di makamkan di situ adalah tiga orang yaitu Bukhari, Santar dan Matamin.
18. Selain Tumpang Talu ada juga makam pahlawan yang jarang di ingat orang di Kandangan yaitu makam Datu Ning Bulang di Durian Tilai, makam Aluh Idut di tinggiran dan makam Datu singakarsa di pandai, Kandangan.
19. Kandangan adalah Kabupaten tertua di Kalimantan Selatan, karena Kandangan adalah kota dimana diproklamirkan atau dibacakannya Teks Kemerdekaan Wilayah Kalimantan dari Penjajah Belanda oleh Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan pada tanggal 17 Mei 1949 yang dipimpin oleh Brigjen H. Hasan Basry di desa Ni'ih.Dan Monumen 17 Mei itu terletak di desa Mandapai Kandangan.
20. Mesjid Ba'angkat (Mesjid Su'ada) di Wasah Kandangan adalah mesjid peninggalan salah seorang zuriat Syekh Maulana H. Muhammad Arsyad Al Banjari ( Datu Kalampayan ) yaitu Al Allamah Syekh H Abbas.Dan anda bisa melihatnya langsung ketika Adzan Maghrib di antv setiap harinya.
21. Dengan berendam dan merasakan hangatnya air panas Tanuhi yang masih alami merupakan pilihan yang tepat untuk menghilangkan rasa penat dan mengembalikan kebugaran tubuh anda setelah beraktifitas.
22. Arung Jeram Balanting Paring (Bambo Rafting) dengan menyusuri sungai Amandit mungkin bisa juga jadi alternatif lain untuk anda yang menyukai tantangan menaikkan adrenalin jiwa petualangan.
23. Untuk yang suka melihat air terjun di Loksado juga terdapat air terjun Haratai, air terjun Uring, air terjun Tinggiran Hayam dan air terjun Ba’angin.
24. Di Loksado juga terdapat Hutan Raya Kadayang yang akan menyuguhkan kepada anda panorama alam yang sangat indah seluas mata memandang.
25. Nikmati juga Gunung Kantawan yang sangat mempesona bila di pandang dari sudut manapun selama anda melakukan perjalanan menuju Loksado.
26. Penduduk Loksado terdiri dari penduduk asli (Etnis Dayak Bukit) dan Etnis Banjar yang telah lama menetap di sana.
27. Etnis Bukit yang masih beragama Kaharingan biasanya tinggal dalam Balai, yaitu rumah panggung yang besar yang di diami oleh beberapa Kepala Keluarga, seperti Balai Malaris, Balai Kamiri, Balai Haratai, Balai Kacang Parang dll.
28. Upacara-upacara adat biasanya dilaksanakan 3x dalam setahun, yaitu berupa upacara ritual untuk memohon keberuntungan atau sebagai rasa puji syukur menurut kepercayaan Kaharingan yang mereka anut.
29. Upacara Adat Suku Dayak Loksado yang paling meriah adalah upacara sehabis panen yang di sebut dengan Aruh Ganal atau Bawanang , dan merupakan salah satu Kalender Wisata Kalimantan Selatan.
30. Menginap dalam balai sambil mengamati tata cara kehidupan mereka (Etnis Bukit) adalah sebuah pengalaman yang mengesankan dalam hidup anda.
31. Untuk tempat bermalam yang lain Pemerintah Hulu Sungai Selatan sudah menyediakan Cottage di Pemandian Air Panas Tanuhi.
32. Aruh Basambu, Aruh Bawanang Lalaya dan Aruh Bawanang Banih Halin merupakan warisan tradisi Suku Dayak Meratus sebagai tanda ikatan emosional dan rasa syukur pada Alam.
33. Aruh Adat Suku Dayak Meratus diiringi dengan berbagai tarian seperti Batandik Balian, Kanjar dan Bangsai.
34. Aruh Ganal juga dilengkapi peralatan seperti Gelang Hiang, Serunai, Kapur, Manyan,Kambang Lilihi dan berbagai macam sesaji.
35. Tari Kurung-kurung adalah Tarian khas Suku Dayak di Loksado yang keberadaannya harus terus dilestarikan.
36. Di Gunung Batu Bini desa Batu Bini Kandangan terdapat goa Kelelawar yang banyak di hiasi oleh stalakmit dan stalaktit yang sangat indah, dan juga terdapat beberapa buah patung binatang dan relief-releif tentang legenda seorang anak yang durhaka terhadap ibunya.
37. Di Gunung Batu Laki desa Malutu Kandangan juga terdapat goa Berangin dimana angin berhembus dari mulut goa yang didalamnya di hiasi ornamen-ornamen yang eksotik, di bawahnya terdapat kurungan yang konon penghuninya adalah ikan yang sangat besar yaitu Ikan Tapah.
38. Di desa Telaga Langsat Kandangan juga terdapat Goa Mandala yang tidak kalah cantik dengan Goa Kelelawar di batu bini dan Goa Berangin di batu laki.
39. Desa Bamban di Kandangan juga memiliki cemilan yang khas yaitu Kerupuk Bamban,di tambah grup musik unik yang sekarang makin jarang dimainkan yaitu Orkes Bamban.
40. Di Hamalau Kandangan ada sebuah desa bernama Telaga Bidadari, dimana di sini terdapat sumur atau pemandian yang di percaya masyarakatnya pernah turun 7 orang Bidadari untuk mandi.
41. Di Lukloa Kandangan juga terdapat teluk di bawah jembatan yang di aliri Sungai Amandit, dimana terdapat kisah masyarakat Si Rintik dan Si Ribut yaitu kisah tentang Naga Merah dan Naga Putih yang saling bertarung dengan nama Datu Ningkurungan.
42. Di kampung Ulin Kandangan juga terdapat legenda dimana dulunya di situ terdapat pohon Ulin yang sangat besar dan tinggi,dan hanya dapat dirobohkan oleh satu orang yang bernama Datu Ulin.
43. Selain cerita tentang Datu Ulin, juga dapat kita temui di Desa Ulin yaitu Balai Amas yang isinya Batu Beranak,dimana menurut masyarakatnya batu tersebut terus bertambah banyak dengan sendirinya.
45. Di desa Hamawang juga terdapat cerita masyarakat tentang Datu Hamawang atau Datu Bungkul (karena selalu membawa Parang Bungkul) , setiap tahun para keturunannya selalu mengadakan haulan secara besar-besaran termasuk Ir H. M. Said (Mantan Gubernur KALSEL). Dengan mengenang jasa beliau sebagai pejuang dan pendiri Mesjid Quba di desa Hamawang.
46. Untuk orang yang ingin membuat Pedang, Parang, Mandau, Samurai atau Alat-alat Besi yang lainnya bisa langsung datang ke Desa Sungai Pinang di Nagara, dan Untuk kerajinan membuat Sarung (Kumpang) dan Hulunya bisa langsung datang ke Desa Sarang Halang Kandangan.
47. Rakat Mufakat adalah Kalimat yang ada pada lambang daerah Hulu Sungai Selatan.
48. Kalimat Kandangan Cing ai selalu di identikkan bahwa yang bersangkutan berasal dari Kandangan, walaupun terkadang makna dari kalimat tersebut berkonotasi negatif yaitu bahwa orang tersebut Jagau (Jago).
49. Tahukah kalian bahwa Dodol Kandangan sudah masuk rekor MURI pada Ulang Tahun Kota Kandangan ke 58 pada tahun 2008 sebagai Dodol Terpanjang yang pernah dibuat di Indonesia.
50. Sedangkan pada perayaan Ulang Tahun Kota Kandangan yang ke 59 pada Tahun 2009 kemarin yang disuguhkan adalah Lemang yang sangat panjang yang diletakkan di lapangan Lambung Mangkurat Kandangan.
Demikian Informasi di seputar Kota Kandangan, paling tidak ini bisa menambah sedikit pengetahuan kepada kita dan mengingatkan kembali akan sejarah Kota Kandangan yang terus berkembang.
sumber :: http://kamalkandangan.blogspot.com/
2. Kenapa Kandangan di sebut Bumi Antaluddin ? Karena Antaluddin diambil dari nama seorang tokoh pahlawan dalam perang madang untuk mempertahankan benteng di gunung madang Kandangan pada tahun 1860 M.
3. Wisata alam Loksado dan kolam pemandian air panas Tanuhi adalah tempat rekreasi yang sangat sering dikunjungi masyarakat Kandangan dan sekitarnya.
4. Tahukah kalian di lapangan tenis Tumpang Talu di Kandangan dulunya adalah tempat pemakaman orang Belanda dan orang Cina.
5. Kuliner Kota Kandangan yang sangat sayang kalau dilewatkan ketika anda berkunjung ke Kandangan adalah Ketupat Kandangan, Dodol Kandangan dan Lamang Kandangan.
6. Tahukah kalian kalau makan Ketupat Kandangan di Kota Kandangannya sendiri sudah jadi tradisi turun temurun ketika memakannya langsung di remas-remas pakai tangan tanpa menggunakan sendok.
7. Saya sangat senang untuk Wikipedia Indonesia, karena Dodol Kandangan di jadikan salah satu dari berbagai macam dodol di Indonesia yang mempunyai ciri khas tersendiri.
8. Mau tahu kelebihan Lamang Kandangan? Lamang Kandangan bisa bertelur di dalamnya.Maksudnya Lamang Kandangan ada ciri khas tersendiri dengan ada telor asin di dalamnya, juga rasa lemak lamangnya yang lain dari yang lain.
9. Selain di Jawa dengan Karto Soewiryo, Sumatera dengan Daud Bereuh dan Sulawesi dengan Kahar Muzakarnya, di Kandangan Kalimantan Selatan juga pernah terjadi peristiwa Gerakan Darul Islam atau DI/TII untuk mendirikan Negara Islam.Di Kandangan Pasukan DI/TII itu dikenal masyarakat dengan Gerombolan Pemberontak Ibnu Hajar,yang di pimpin oleh Ibnu Hajar atau Angli yang berasal dari Ambutun, Kandangan.
10. Apakah kalian pernah memperhatikan di tiap Kota di Kalimantan Selatan ini ada memiliki patung-patung, dan di Kota Kandangan sendiri ada patung tentara(sepengetahuan saya patung di tiap-tiap kota itu punya makna tersendiri akan kotanya).
11. Mungkin belum banyak yang tahu bahwa Pahlawan Nasional Kedua Kalimantan Selatan setelah Pangeran Antasari yang di akui Pemerintah Indonesia adalah Brigjen H. Hasan Basry sebagai Bapak Gerilya Kalimantan.Dan beliau sendiri adalah orang Padang Batung, Kandangan yang dimakamkan di bundaran Liang Anggang,Banjarbaru.
12. Itulah kenapa seharusnya generasi muda di Kandangan bisa meneladani beliau dengan semangat perjuangannya memerdekakan Kalimantan Selatan,kita boleh bangga karena tiap jalan di Kota-kota di Kalimantan Selatan selalu menggunakan Nama beliau,contohnya Jl.Brigjen H. Hasan Basry di kayu tangi, Banjarmasin dll.
13. Tapi tahukah kalian bahwa Markas Yonif Tentara 621 Manuntung di Kandangan itu dulunya adalah sebuah benteng yang penuh dengan sejarah tentang perjuangan Rakyat Kandangan melawan penjajah Belanda, dan dikenal dengan Benteng Hamawang.
14. Bersyukurlah warga Kandangan karena jasa-jasa Dak'wah tanpa pamrih Datu Taniran, Datu Balimau dan Para Habaib yang dikuburkan di Lumpangi, sehingga menjadikan Islam Mayoritas Di Kota Kandangan.
15. Tahukah kalian arti dari nama asrama Kandangan dimana kawan-kawan kita yang menuntut ilmu mendiaminya seperti asrama Amuk Hantarukung, asrama Rakat Mufakat atau asrama Bukhari.
16. Amuk Hantarukung adalah sebuah peristiwa bersejarah di Kandangan, dimana Bukhari seorang pahlawan di desa Hantarukung mengadakan pemberontakan secara membabi buta terhadap Belanda yang lebih dikenal dengan Perang Amuk Hantarukung 19 September 1899.
17. Masyarakat Kandangan harus di ingatkan kembali bahwa Kuburan Tumpang Talu di Parincahan itu adalah makam para pahlawan dalam perang Amuk Hantarukung, kenapa namanya Tumpang Talu, karena orang yang di makamkan di situ adalah tiga orang yaitu Bukhari, Santar dan Matamin.
18. Selain Tumpang Talu ada juga makam pahlawan yang jarang di ingat orang di Kandangan yaitu makam Datu Ning Bulang di Durian Tilai, makam Aluh Idut di tinggiran dan makam Datu singakarsa di pandai, Kandangan.
19. Kandangan adalah Kabupaten tertua di Kalimantan Selatan, karena Kandangan adalah kota dimana diproklamirkan atau dibacakannya Teks Kemerdekaan Wilayah Kalimantan dari Penjajah Belanda oleh Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan pada tanggal 17 Mei 1949 yang dipimpin oleh Brigjen H. Hasan Basry di desa Ni'ih.Dan Monumen 17 Mei itu terletak di desa Mandapai Kandangan.
20. Mesjid Ba'angkat (Mesjid Su'ada) di Wasah Kandangan adalah mesjid peninggalan salah seorang zuriat Syekh Maulana H. Muhammad Arsyad Al Banjari ( Datu Kalampayan ) yaitu Al Allamah Syekh H Abbas.Dan anda bisa melihatnya langsung ketika Adzan Maghrib di antv setiap harinya.
21. Dengan berendam dan merasakan hangatnya air panas Tanuhi yang masih alami merupakan pilihan yang tepat untuk menghilangkan rasa penat dan mengembalikan kebugaran tubuh anda setelah beraktifitas.
22. Arung Jeram Balanting Paring (Bambo Rafting) dengan menyusuri sungai Amandit mungkin bisa juga jadi alternatif lain untuk anda yang menyukai tantangan menaikkan adrenalin jiwa petualangan.
23. Untuk yang suka melihat air terjun di Loksado juga terdapat air terjun Haratai, air terjun Uring, air terjun Tinggiran Hayam dan air terjun Ba’angin.
24. Di Loksado juga terdapat Hutan Raya Kadayang yang akan menyuguhkan kepada anda panorama alam yang sangat indah seluas mata memandang.
25. Nikmati juga Gunung Kantawan yang sangat mempesona bila di pandang dari sudut manapun selama anda melakukan perjalanan menuju Loksado.
26. Penduduk Loksado terdiri dari penduduk asli (Etnis Dayak Bukit) dan Etnis Banjar yang telah lama menetap di sana.
27. Etnis Bukit yang masih beragama Kaharingan biasanya tinggal dalam Balai, yaitu rumah panggung yang besar yang di diami oleh beberapa Kepala Keluarga, seperti Balai Malaris, Balai Kamiri, Balai Haratai, Balai Kacang Parang dll.
28. Upacara-upacara adat biasanya dilaksanakan 3x dalam setahun, yaitu berupa upacara ritual untuk memohon keberuntungan atau sebagai rasa puji syukur menurut kepercayaan Kaharingan yang mereka anut.
29. Upacara Adat Suku Dayak Loksado yang paling meriah adalah upacara sehabis panen yang di sebut dengan Aruh Ganal atau Bawanang , dan merupakan salah satu Kalender Wisata Kalimantan Selatan.
30. Menginap dalam balai sambil mengamati tata cara kehidupan mereka (Etnis Bukit) adalah sebuah pengalaman yang mengesankan dalam hidup anda.
31. Untuk tempat bermalam yang lain Pemerintah Hulu Sungai Selatan sudah menyediakan Cottage di Pemandian Air Panas Tanuhi.
32. Aruh Basambu, Aruh Bawanang Lalaya dan Aruh Bawanang Banih Halin merupakan warisan tradisi Suku Dayak Meratus sebagai tanda ikatan emosional dan rasa syukur pada Alam.
33. Aruh Adat Suku Dayak Meratus diiringi dengan berbagai tarian seperti Batandik Balian, Kanjar dan Bangsai.
34. Aruh Ganal juga dilengkapi peralatan seperti Gelang Hiang, Serunai, Kapur, Manyan,Kambang Lilihi dan berbagai macam sesaji.
35. Tari Kurung-kurung adalah Tarian khas Suku Dayak di Loksado yang keberadaannya harus terus dilestarikan.
36. Di Gunung Batu Bini desa Batu Bini Kandangan terdapat goa Kelelawar yang banyak di hiasi oleh stalakmit dan stalaktit yang sangat indah, dan juga terdapat beberapa buah patung binatang dan relief-releif tentang legenda seorang anak yang durhaka terhadap ibunya.
37. Di Gunung Batu Laki desa Malutu Kandangan juga terdapat goa Berangin dimana angin berhembus dari mulut goa yang didalamnya di hiasi ornamen-ornamen yang eksotik, di bawahnya terdapat kurungan yang konon penghuninya adalah ikan yang sangat besar yaitu Ikan Tapah.
38. Di desa Telaga Langsat Kandangan juga terdapat Goa Mandala yang tidak kalah cantik dengan Goa Kelelawar di batu bini dan Goa Berangin di batu laki.
39. Desa Bamban di Kandangan juga memiliki cemilan yang khas yaitu Kerupuk Bamban,di tambah grup musik unik yang sekarang makin jarang dimainkan yaitu Orkes Bamban.
40. Di Hamalau Kandangan ada sebuah desa bernama Telaga Bidadari, dimana di sini terdapat sumur atau pemandian yang di percaya masyarakatnya pernah turun 7 orang Bidadari untuk mandi.
41. Di Lukloa Kandangan juga terdapat teluk di bawah jembatan yang di aliri Sungai Amandit, dimana terdapat kisah masyarakat Si Rintik dan Si Ribut yaitu kisah tentang Naga Merah dan Naga Putih yang saling bertarung dengan nama Datu Ningkurungan.
42. Di kampung Ulin Kandangan juga terdapat legenda dimana dulunya di situ terdapat pohon Ulin yang sangat besar dan tinggi,dan hanya dapat dirobohkan oleh satu orang yang bernama Datu Ulin.
43. Selain cerita tentang Datu Ulin, juga dapat kita temui di Desa Ulin yaitu Balai Amas yang isinya Batu Beranak,dimana menurut masyarakatnya batu tersebut terus bertambah banyak dengan sendirinya.
45. Di desa Hamawang juga terdapat cerita masyarakat tentang Datu Hamawang atau Datu Bungkul (karena selalu membawa Parang Bungkul) , setiap tahun para keturunannya selalu mengadakan haulan secara besar-besaran termasuk Ir H. M. Said (Mantan Gubernur KALSEL). Dengan mengenang jasa beliau sebagai pejuang dan pendiri Mesjid Quba di desa Hamawang.
46. Untuk orang yang ingin membuat Pedang, Parang, Mandau, Samurai atau Alat-alat Besi yang lainnya bisa langsung datang ke Desa Sungai Pinang di Nagara, dan Untuk kerajinan membuat Sarung (Kumpang) dan Hulunya bisa langsung datang ke Desa Sarang Halang Kandangan.
47. Rakat Mufakat adalah Kalimat yang ada pada lambang daerah Hulu Sungai Selatan.
48. Kalimat Kandangan Cing ai selalu di identikkan bahwa yang bersangkutan berasal dari Kandangan, walaupun terkadang makna dari kalimat tersebut berkonotasi negatif yaitu bahwa orang tersebut Jagau (Jago).
49. Tahukah kalian bahwa Dodol Kandangan sudah masuk rekor MURI pada Ulang Tahun Kota Kandangan ke 58 pada tahun 2008 sebagai Dodol Terpanjang yang pernah dibuat di Indonesia.
50. Sedangkan pada perayaan Ulang Tahun Kota Kandangan yang ke 59 pada Tahun 2009 kemarin yang disuguhkan adalah Lemang yang sangat panjang yang diletakkan di lapangan Lambung Mangkurat Kandangan.
Demikian Informasi di seputar Kota Kandangan, paling tidak ini bisa menambah sedikit pengetahuan kepada kita dan mengingatkan kembali akan sejarah Kota Kandangan yang terus berkembang.
sumber :: http://kamalkandangan.blogspot.com/
Sabtu, 30 November 2013
Datu Hamawang Kandangan
Datu Hamawang atau Datu Bungkul
bergelar Tumenggung Raksa Yuda atau Pangeran Kecil, dan gelar Datu
Hamawang inilah yang lebih dikenal.
Datu
Hamawang selain orang yang sakti mandraguna, beliau juga sebagai seorang
pahlawan dan sebagai seorang ulama panutan yang sangat disegani dan
dihormati oleh masyarakat, sehingga segala keputusan yang akan
dilaksanakan di daerah tersebut terlebih dahulu meminta saran dan
pendapat bahkan persetujuan beliau. Menurut penuturan orang-orang tua,
yang mula-mula memeluk agama islam di daerah ini adalah Datu Hamawang,
kemudian beliau menyebarkan agama islam dan membangun sebuah mesjid di
hamawang (mesjid Quba) di bantu oleh Datu Ulin dan Datu Basuhud yang
akhirnya kawin dengan adik Datu Hamawang yang bernama Datu Salayan.
Menurut cerita, Datu Hamawang adalah orang yang dikaruniai umur yang panjang, umur beliau mencapai 300 tahun.
Datu Hamawang mempunyai 4 orang bersaudara:
1. Datu Balimbur. Beliau juga disebut Datu Kurungan, karena beliau
memelihara buaya putih dalam kurungan, konon ketika Pangeran Suriansyah
mendirikan istana kerajaan (sekarang lokasi Mesjid Kuin), buaya putih
ini ikut juga membantunya. Terakhir beliau bermukim di daerah Barito.
Zuriyat beliau adalah Garuntung Manau dan Garuntung Waluh, suku Dayak
Biaju Hampatung. Sekarang zuriyat beliau ada di Hamawang, Sungai Kudung,
Telaga Langsat, Lumpangi dan Daerah Barito.
2. Datu Hamawang atau Datu Bungkul. Zuriyat beliau sekarang ada di
Hamawang, Sungai Raya, Sungai Kali, Sarang Halang, Pagar Haur, Malutu
dan Sungai Kudung.
3. Datu Tambunau atau TUMENGGUNG ANTALUDIN. Zuriyat beliau adalah
Pambalah Batung dan Datu Dambung, dan sekarang zuriyat beliau ini ada
di sekitar Sungai Kudung, Madang, Padang Batung, Kaliring, Hamawang,
Sungai Gula, Puruk Cahu, Sumatera dan daerah Pegunungan Meratus (Gunung
Panginangan Ratu dan Cantung). Datu Tambunau terkenal sebagai pejuang
yang sakti mandraguna, pantang menyerah terhadap penjajah Belanda. Konon
beliau mempunyai baju layang yang bisa digunakan sebagai sayap untuk
terbang. Setelah peperangan melawan Belanda (Perang Gunung Madang)
selesai, beliau bertapa di Gunung Panginangan Ratu. Dari nama beliau
itulah akhirnya Kandangan di namakan BUMI ANTALUDIN, karena beliau dengan gagah berani mempertahankan Kandangan dari penjajah Belanda di benteng madang.
4. Datu Salayan (Datu Ibuk) bergelar Ratu Kumala Sari atau Ratu Mayang
Sari, yang kemudian kawin dengan Datu Basuhud. Mereka akhirnya menetap
di Alai Barabai. Zuriyat beliau sekarang ada di Hamawang, Sungai Kudung,
Banyu Barau, Gambah, Alai (Barabai) dan Malaysia.
sumber: http://kamal-ansyari.blogspot.com/search?updated-min=2010-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2011-01-01T00:00:00-08:00&max-results=1
DATU NAGA NINGKURUNGAN LOKSINAGA AMANDIT KANDANGAN
Di sebuah desa di Kalimantan Selatan tinggallah sebuah keluarga yaitu
seorang suami, istri dan anaknya. Pekerjaan mereka sehari-hari adalah
bertani. Mereka bertiga hidup dari hasil bertani dan selalu mengerjakan
lahan mereka dengan tekun dan rajin. Sehingga mereka selalu
berkecukupan. Mereka hidup dan tinggal di daerah yang disebut dengan
nama Lukloa atau Loksinaga yaitu suatu perkampungan yang tepatnya
terletak di Kandangan ( Kabupaten Hulu Sungai Selatan ).
Pada suatu hari, kedua petani tersebut mencari ikan di batang Amandit (
sungai Amandit ) sebagai lauk untuk makan pada hari itu. Peralatan yang
digunakan untuk mencari atau menangkap ikan tersebut adalah tangguk (
alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu yang dipotong kecil-kecil
dan disusun sedemikian rupa ).
Setelah sekian lama mencari ikan di batang tersebut, tidak ada satu ekor
ikan pun yang masuk ke dalam tangguk mereka. Mereka hampir putus asa
dengan keadaan tersebut. Tetapi kemudian sang suami mendapatkan sebiji
telur besar, dengan senangnya dia bergegas menghampiri istrinya dan
sambil memperlihatkan telur yang diperoleh kepada istrinya, “Istriku
sayang… coba lihat apa yang aku bawa ini.” Sang istri langsung menoleh
ke arah suaminya. “apa itu suamiku, telur apa itu ?”. Karena rasa
curiganya dan was-was, sang istri justru menyarankan agar telur tersebut
dibuang. “Kenapa harus dibuang istriku, ini nanti kan bisa untuk lauk
kita?” Hari kan sudah semakin siang kita belum mendapatkan ikan untuk
lauk makan hari ini. Apa tidak kasihan dengan anak kita, makan tanpa
lauk karena kita belum mendapatkan ikan? “Sudahlah suamiku, buang saja
telur itu, kita kan tidak tau asal usulnya telur itu”. Walau dengan
berat hati dan perasaan kecewa, tapi demi sang istri telur tersebut
akhirnya dibuang oleh sang suami ke arah hulu sungai Amandit.
“Sudahlah suamiku, ayo kita teruskan untuk mencari ikan, siapa tau Tuhan
memberikan rizki untuk kita”. “Baiklah istriku, ayo kita teruskan
mencari ikannya, mudah-mudahan Tuhan mengabulkannya”. Petani tersebut
kembali melanjutkan mencari ikan dengan tangguknya dan berharap segera
mendapatkan ikan untuk dimakan pada hari itu. Namun ternyata usaha
mereka sia-sia belaka, tidak ada satu ekor ikan pun yang mereka dapatkan
di hari itu. Tapi anehnya telur yang tadinya dibuang kembali lagi masuk
ke dalam tangguk mereka. Berkali-kali telur itu dibuang, tetap saja
telur itu masuk kembali ke tangguknya. Karena hari sudah mulai siang dan
ikan tidak juga didapat, maka akhirnya mereka memutuskan membawa telur
tesebut ke rumah untuk dimakan sebagai pengganti ikan.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, sambil berbincang-bincang sang
suami menjelaskan kepada sang istri kalau dia tak perlu risau tidak
mendapatkan ikan, karena mereka sudah mendapatkan telur sebagai
pengganti ikan dan inilah rejeki mereka pada hari ini. Setelah sampai di
rumah telur pun dimasak oleh sang istri untuk dijadikan lauk saat makan
nanti.
Pada waktu makan bersama, sang istri dan anaknya tidak mau memakan telur
yang tadinya dimasak karena takut dengan keadaan telur yang berbeda
dari telur biasanya. Telurnya berukuran besar sehingga menimbulkan
perasaan yang tidak nyaman dari sang istri. Saat sang istri memasak
telur perasaannya selalu tidak enak. Daripada tidak ada yang mau memakan
telur yang tadinya dimasak, maka sang suami itu sendiri yang
memakannya. Usai memakan telur tersebut sang suami merasa kenyang. Tidak
berapa lama kemudian tiba-tiba timbul rasa gatal-gatal disekujur
tubuhnya dan dari kulit sang suami itu muncul sisik-sisik yang
menyerupai seperti sisik naga.
Lama-kelamaan sang suami berubah menjadi seekor naga yang berwarna putih
dan semakin hari sang naga semakin bertambah besar. Akibat dari
perubahan sang suami yang menjadi seekor naga, sang istri dan anaknya
merasa tidak nyaman dengan keadaan itu. Kemudian naga tersebut
diturunkan ke tanah melalui tangga dari dua buah batang pinang muda yang
dibuatkan oleh keluarganya dan sampai kesebuah parit kecil.
Sang naga kemudian melakukan perjalanan ke hilir sungai Amandit.
Ternyata di dasar sungai Amandit ini sang naga mendapatkan liang (
lubang besar ) dan kerena kelelahan setelah melakukan perjalanan, maka
sang naga memutuskan untuk beristirahat dan tertidur di dalam liang yang
baru ditemukannya tersebut. Padahal, liang yang ditempati oleh sang
naga Putih tersebut merupakan tempat tinggal dari seekor naga yang
berwarna Habang ( merah ) yang tadinya pergi mencari makan.
Ketika naga Habang kembali, dia sangat terkejut karena di dalam liangnya
sudah terdapat seekor naga yang berwarna Putih. Keadaan itu membuat
naga Habang menjadi marah. Kedatangan naga Habang ke dalam liangnya,
membuat naga Putih terkejut sehingga terbangun dari tidurnya.
Naga Habang tidak bisa menerima karena liangnya ditempati oleh naga
Putih sehingga terjadilah sebuah perkelahian yang sangat hebat. Namun
perkelahian ini tidak seimbang karena naga Putih tidak mempunyai taring
seperti naga Habang. Perkelahian ini akhirnya dimenangkan oleh naga
Habang. Kekalahan ini membuat naga Putih harus meninggalkan liang yang
baru didapatnya. Sang naga Putih kembali ke hulu menemui istrinya dan
mengadukan perihal kekalahannya dalam perkelahian melawan naga Habang di
liang yang baru ditemukannya. Untuk merebut kembali liang yang
ditemukan oleh naga Putih tersebut, dia disarankan oleh sang istri agar
memasang pisau yang tajam dikiri dan kanan mulutnya agar menyerupai
sepasang taring milik naga Habang. Saran ini disetujui oleh naga Putih
dan meminta kepada istrinya untuk membantu memasangkan pisau tersebut ke
kiri dan kanan mulutnya sebagaimana yang disarankan oleh sang istri.
Setelah pisau terpasang, dengan senang dan semangat naga Putih kembali
menuju ke liang untuk menuntut balas atas kekalahannya kepada naga
Habang. Mereka kembali melakukan perkelahian, pada perkelahian kali ini
naga Habang mengalami luka disekujur tubuhnya akibat taring buatan (
pisau ) yang dimiliki oleh naga Putih, sehingga naga Habang dapat
dikalahkan oleh naga Putih. Karena banyaknya luka yang dialami oleh naga
Habang, sehingga dia tewas di tangan naga Putih. Akibat banyaknya darah
yang dikeluarkan oleh naga Habang pada saat perkelahian, seketika itu
pula air sungai berubah menjadi merah berkilauan akibat darah yang
dikeluarkan dari tubuh naga Habang dan memantulkan cahaya beraneka ragam
warna yang indah merona di langit senja.
Setelah pertarungan usai, sang naga Putih bergegas kembali menuju ke
hulu sungai Amandit untuk memberikan kabar gembira kepada sang istri.
“Istriku sayang, aku datang membawa berita gembira”. “Kabar apa
suamiku, kelihatannya gembira sekali ?” “Bagaimana tidak gembira, aku
ternyata bisa mengalahkan si naga Habang itu. Ini semua berkat ide yang
kau berikan serta doa tulus yang selalu kau berikan untukku. Aku merasa
yakin bahwa kesetiaan dan cinta sucimu tetap seperti dulu. Meskipun aku
telah berubah wujud menjadi seekor naga putih. Aku telah dapat
mengalahkan naga Habang bahkan membuat naga Habang tewas. Sang istri
juga ikut merasa bahagia atas kemenangan yang didapat oleh sang suami (
naga Putih ). Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang
suami menyadari kalau mereka tidak mungkin bersatu dan hidup bersama
lagi. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan wujud diantara mereka.
Derai air mata dan isak tangis diantara mereka tidak bisa dibendung
lagi. Sebagai tanda kecintaan dan kesetiaan naga Putih terhadap anak dan
istrinya, ia meninggalkan pesan terlebih dahulu kepada keduanya. Pesan
tersebut adalah “apabila merasa rindu dan ingin bertemu kepadaku ( naga
Putih ), maka akan turunlah hujan, setelah itu panas, kemudian rintik
dan pada akhirnya muncul pelangi. Selagi masih ada pelangi di angkasa,
itu tandanya aku masih hidup dan cinta suciku selalu untuk kalian. Dan
mulai saat ini, panggillah aku ( naga Putih ) dengan sebutan
Balahindang”. Balahindang kemudian kembali ke liangnya ke dasar sungai
Amandit dan bersemayam disana untuk selama-lamanya.
Demikianlah kisah tentang kedua petani yang pada akhirnya terpisah
karena keadaan mereka. Walaupun cerita ini berbau mistis, tapi kejadian
kisah ini diyakini oleh sebagian masyarakat Kandangan, khususnya
orang-orang tua yang berada di daerah Lukloa, di aliran sungai Amandit,
Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
sumber : http://kamal-ansyari.blogspot.com/2012/03/datu-naga-ningkurungan-loksinaga.html
Rabu, 27 November 2013
Ilmu Taguh Urang Banjar
menurut urang bahari:
1.untalan minyak sambung nyawa
2.untalan minyak bintang
3.untalan minyak gilingan gangsa
4.untalan rangka hirang
5.untalan minyak gajah
6.untalan minyak sulingan mayat
7.untalan bulu barabiaban
8.sumping takau
9.buntut anoman
10.taring pelanduk(jimat)
11.wasi kuning(jimat)
12.picis mimang(jimat)
13.tanduk kucing(jimat)
14.andung laki sampuk buku(jimat)
15.haur sampuk buku(jimat)
16.kulit kijang putih(jimat)
17.daun taguh sahari(jimat)
18.kakamban hantu beranak(jimat)
19.sulang kambing
20.buntat kalimbuai
21.kalang sawa
22.batu patir
23.buntat ulin
24.ulin manang
25.sampuk sisik(lampahan)
26.pekat sambung buku
27.taguh kurung-kurung(bawaan dr lahir)
28.tapa banyu(jenis mandi)
29.mandi dlm tapih kuitan(mandi dlm tapih wasi)
30.hayam ualangan
31.dll(habis dah yg uln ketahui)
sekian masukan nya kalo aja ada suhu yang mau jelasin lanjutkan
sumber : http://mistik-gaib.blogspot.com/2012/07/ilmu-ilmu-kebal-dari-banjar-kalimantan.html
1.untalan minyak sambung nyawa
2.untalan minyak bintang
3.untalan minyak gilingan gangsa
4.untalan rangka hirang
5.untalan minyak gajah
6.untalan minyak sulingan mayat
7.untalan bulu barabiaban
8.sumping takau
9.buntut anoman
10.taring pelanduk(jimat)
11.wasi kuning(jimat)
12.picis mimang(jimat)
13.tanduk kucing(jimat)
14.andung laki sampuk buku(jimat)
15.haur sampuk buku(jimat)
16.kulit kijang putih(jimat)
17.daun taguh sahari(jimat)
18.kakamban hantu beranak(jimat)
19.sulang kambing
20.buntat kalimbuai
21.kalang sawa
22.batu patir
23.buntat ulin
24.ulin manang
25.sampuk sisik(lampahan)
26.pekat sambung buku
27.taguh kurung-kurung(bawaan dr lahir)
28.tapa banyu(jenis mandi)
29.mandi dlm tapih kuitan(mandi dlm tapih wasi)
30.hayam ualangan
31.dll(habis dah yg uln ketahui)
sekian masukan nya kalo aja ada suhu yang mau jelasin lanjutkan
sumber : http://mistik-gaib.blogspot.com/2012/07/ilmu-ilmu-kebal-dari-banjar-kalimantan.html
Bamandi Taguh
“MANDI TAGUH”
Oleh: Om’Cing Hariez (Admin FB: Komunitas Pemerhati Adat dan Budaya Indonesia)
Masyarakat Banjar kaya dengan berbagai fenomena dan ritual budaya yang bersifat khas. Salah satu di antaranya adalah ritual mandi taguh atau mandi kebal, yang dilakukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap senjata tajam maupun senjata api.
Dalam tutur sejarah lisan Banjar, tokoh yang terkenal memiliki dan dianggap sebagai ikon dalam ilmu kekebalan tubuh dimaksud adalah Datu Karipis, yang kebal kulitnya, tahan dari senjata tajam maupun senjata api dan dikatakan seperti besi badannya. Datu Karipis berasal dari daerah Muning, Tatakan, Rantau. Oleh masyarakat Muning, dia diyakini sebagai salah seorang murid (murid yang keempat) dari Datu Suban, yang merupakan mahaguru dari para datu di Muning.
Sebagai salah satu dari ilmu kebatinan yang ada di Kalimantan dan dimiliki oleh orang-orang zaman dulu sebagai syarat kehebatan, keperkasaan, alat pelindung diri, dan menjadi andalan para pejuang Banjar dalam merebut kemerdekaan dari penjajahan, ilmu kebal dipercaya hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Bahkan ada anggapan, jika ilmu kebal hanya didapat dan diwariskan berdasarkan garis keturunan.
Dalam kepercayaan masyarakat Banjar orang yang memiliki ilmu kekebalan itu bisa dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang kebal tubuhnya sejak pertama kali dilahirkan, sebab ketika dia lahir dalam keadaan terbungkus oleh kulit atau yang sering disebut orang Banjar “lahir bakulubut”. Disebut dengan taguh bungkus atau taguh basalumur. Kedua, kelompok yang memiliki ilmu kebal setelah melalui proses tertentu. Untuk mendapatkan kekebalan tubuh, memang banyak ritual yang biasa dilakukan oleh orang Banjar.
Pertama, ada yang mendapatkan kekebalan tubuh dimaksud karena memakai jimat-jimat tertentu yang berwujud wafak-wafak. Rumusan-rumusan wafak ditulis di atas kertas, di atas baju dalam pria (baju barajah/ baju bawafak) atau dituliskan (dirajahkan) pada punggung, ditulis di cincin atau benda lainnya. Wafak yang ditulis di atas kertas dan dibungkus dengan kain kuning atau kain hitam disebut jimat. Jimat ini biasanya ditaruh di peci, dikalungkan atau ditaruh di kantong baju. Ada juga yang dijadikan ikat pinggang yang disebut babatsal. Ada juga wafak yang ditulis di atas kertas lalu diuntal (ditelan).
Kedua, ada yang mendapat kekebalan tubuh karena memakai benda-benda tertentu yang dianggap mengandung aura gaib dan kesaktian (mana), misalnya picis mimang, rantai babi, cemeti, besi kuning atau wasi tuha, mustika ular, dan lain-lain. Rantai babi adalah benda yang terdapat di leher salah seekor babi liar (rajanya). Besi kuning adalah besi yang ditemukan dalam sarang tabuan pipit yang sudah sangat tua. Tabuan pipit adalah sejenis lebah penyengat yang sangat berbisa, dan besi kuning konon adalah batu tempat mengasah sengatnya. Wasi tuha (besi tua) adalah sebutan untuk senjata kuno yang diwarisi turun-temurun, seperti keris, parang bungkul, mandau, tombak, badik, taji, dan lain-lain.
Ketiga, mereka yang kebal karena meminum minyak-minyak sakti seperti minyak gajah, minyak rangka hirang dan atau minyak bintang. Bisa juga dengan menelan benda-benda tertentu (untalan).
Keempat, mereka yang memiliki kekebalan tubuh dengan cara melakukan pertapaan atau semedi dengan mengamalkan bacaan-bacaan tertentu secara berulang-ulang, yang dalam bahasa Banjar disebut dengan balampah. Balampah juga sering berarti berpantang sesuatu selama waktu tertentu dalam rangka mencapai sesuatu. Menurut cerita, kegiatan balampah untuk memperoleh kekebalan konon banyak dilakukan orang Banjar pada saat perang kemerdekaan dan perang dengan Portugis (tahun tujuh puluhan. Sehingga, pada tahun tujuh puluhan, banyak orang datang ke Kampung Dalam Pagar (Martapura) guna memperoleh jimat, baju bawafak atau barajah, babatsal, dan yang lainnya untuk mendapatkan kekebalan.
Kelima, mereka yang memiliki kekebalan karena mengamalkan bacaan tertentu (melalui wiridan), antara lain yang berwujud ayat Alquran, Hizb (pertahanan), syair atau pantun, dan bacaan-bacaan lain yang terkadang dicampur dengan rumusan bahasa Banjar.
Keenam,mereka yang mendapatkan kekebalan tubuh melalui ritual mandi, yang disebut dengan mandi taguh atau mandi kebal.
Umumnya, ritual mandi taguh dilakukan oleh mereka yang ingin bepergian jauh (madam) baik dalam rangka untuk menuntut ilmu maupun berusaha (berdagang, mendulang), mereka yang akan melaksanakan tugas berat (misalnya tentara atau polisi yang ditugaskan di daerah-daerah konflik) atau mereka yang merasa terancam jiwanya.
Menurut informasi, kitab-kitab klasik, seperti Taj al-Muluk, Dhairoby, Syamsul Ma’arif, Mujarabat, Senjata Mu’min, Aufaq al-Gazali dan sejenisnya merupakan referensi utama guru pemandian dalam mempelajari dan mendasari hal-hal yang harus dilakukan ketika melaksanakan prosesi mandi taguh.
Mengapa, mandi menjadi salah satu media penting bagi orang Banjar untuk mendapatkan kekebalan tubuh? Dalam pemahaman masyarakat Banjar, air menjadi sebuah media penting untuk mendapatkan penyembuhan atau suatu kekuatan, termasuk kekebalan tubuh. Orang Banjar meyakini, karena manusia berasal dari air, maka air pulalah yang menyebabkan dia menjadi seorang yang memiliki kekuatan tertentu. Air tidak bisa dipatahkan, air tidak bisa ditebas dengan pedang, ditombak, dan seterusnya, air akan tetap kembali ke bentuknya semula. Boleh jadi pemahaman ini akhirnya mendorong orang Banjar melakukan ritual mandi taguh untuk mendapatkan kekebalan tubuh.
Adanya pemakaian tulisan Arab dan bacaan-bacaan yang dibaca dalam bahasa Arab, menyiratkan adanya pengaruh Islam terhadap prosesi atau ritual mandi taguh. Walaupun, pemakaian benda-benda yang lain, seperti kain kuning, mantra, dan sebagainya juga menyimbolkan adanya pengaruh dari Hindu-Budha, Animisme dan Dinamisme. Namun, masing-masing dari pengaruh tersebut terlihat dari orang yang melaksanakan ritual dan jalannya prosesi mandi taguh (pemandian). Di sini, terlihat bahwa ritual mandi taguh mengalami sinkritis antara ajaran Hindu-Budha, Animisme-Dinamisme dengan Islam.
Mandi taguh memperlihatkan adanya sebuah ritual khas yang telah dilakukan sejak masa dulu hingga sekarang oleh orang Banjar untuk melindungi diri mereka dari serangan senjata tajam.
Sampai kapankah ritual budaya ini dapat bertahan? Tentunya apapun ritual yang dilakukan dengan tujuan untuk melindungi diri semata-mata semuanya karena izin Allah SWT.
(Berbagai sumber)
Oleh: Om’Cing Hariez (Admin FB: Komunitas Pemerhati Adat dan Budaya Indonesia)
Masyarakat Banjar kaya dengan berbagai fenomena dan ritual budaya yang bersifat khas. Salah satu di antaranya adalah ritual mandi taguh atau mandi kebal, yang dilakukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap senjata tajam maupun senjata api.
Dalam tutur sejarah lisan Banjar, tokoh yang terkenal memiliki dan dianggap sebagai ikon dalam ilmu kekebalan tubuh dimaksud adalah Datu Karipis, yang kebal kulitnya, tahan dari senjata tajam maupun senjata api dan dikatakan seperti besi badannya. Datu Karipis berasal dari daerah Muning, Tatakan, Rantau. Oleh masyarakat Muning, dia diyakini sebagai salah seorang murid (murid yang keempat) dari Datu Suban, yang merupakan mahaguru dari para datu di Muning.
Sebagai salah satu dari ilmu kebatinan yang ada di Kalimantan dan dimiliki oleh orang-orang zaman dulu sebagai syarat kehebatan, keperkasaan, alat pelindung diri, dan menjadi andalan para pejuang Banjar dalam merebut kemerdekaan dari penjajahan, ilmu kebal dipercaya hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Bahkan ada anggapan, jika ilmu kebal hanya didapat dan diwariskan berdasarkan garis keturunan.
Dalam kepercayaan masyarakat Banjar orang yang memiliki ilmu kekebalan itu bisa dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang kebal tubuhnya sejak pertama kali dilahirkan, sebab ketika dia lahir dalam keadaan terbungkus oleh kulit atau yang sering disebut orang Banjar “lahir bakulubut”. Disebut dengan taguh bungkus atau taguh basalumur. Kedua, kelompok yang memiliki ilmu kebal setelah melalui proses tertentu. Untuk mendapatkan kekebalan tubuh, memang banyak ritual yang biasa dilakukan oleh orang Banjar.
Pertama, ada yang mendapatkan kekebalan tubuh dimaksud karena memakai jimat-jimat tertentu yang berwujud wafak-wafak. Rumusan-rumusan wafak ditulis di atas kertas, di atas baju dalam pria (baju barajah/ baju bawafak) atau dituliskan (dirajahkan) pada punggung, ditulis di cincin atau benda lainnya. Wafak yang ditulis di atas kertas dan dibungkus dengan kain kuning atau kain hitam disebut jimat. Jimat ini biasanya ditaruh di peci, dikalungkan atau ditaruh di kantong baju. Ada juga yang dijadikan ikat pinggang yang disebut babatsal. Ada juga wafak yang ditulis di atas kertas lalu diuntal (ditelan).
Kedua, ada yang mendapat kekebalan tubuh karena memakai benda-benda tertentu yang dianggap mengandung aura gaib dan kesaktian (mana), misalnya picis mimang, rantai babi, cemeti, besi kuning atau wasi tuha, mustika ular, dan lain-lain. Rantai babi adalah benda yang terdapat di leher salah seekor babi liar (rajanya). Besi kuning adalah besi yang ditemukan dalam sarang tabuan pipit yang sudah sangat tua. Tabuan pipit adalah sejenis lebah penyengat yang sangat berbisa, dan besi kuning konon adalah batu tempat mengasah sengatnya. Wasi tuha (besi tua) adalah sebutan untuk senjata kuno yang diwarisi turun-temurun, seperti keris, parang bungkul, mandau, tombak, badik, taji, dan lain-lain.
Ketiga, mereka yang kebal karena meminum minyak-minyak sakti seperti minyak gajah, minyak rangka hirang dan atau minyak bintang. Bisa juga dengan menelan benda-benda tertentu (untalan).
Keempat, mereka yang memiliki kekebalan tubuh dengan cara melakukan pertapaan atau semedi dengan mengamalkan bacaan-bacaan tertentu secara berulang-ulang, yang dalam bahasa Banjar disebut dengan balampah. Balampah juga sering berarti berpantang sesuatu selama waktu tertentu dalam rangka mencapai sesuatu. Menurut cerita, kegiatan balampah untuk memperoleh kekebalan konon banyak dilakukan orang Banjar pada saat perang kemerdekaan dan perang dengan Portugis (tahun tujuh puluhan. Sehingga, pada tahun tujuh puluhan, banyak orang datang ke Kampung Dalam Pagar (Martapura) guna memperoleh jimat, baju bawafak atau barajah, babatsal, dan yang lainnya untuk mendapatkan kekebalan.
Kelima, mereka yang memiliki kekebalan karena mengamalkan bacaan tertentu (melalui wiridan), antara lain yang berwujud ayat Alquran, Hizb (pertahanan), syair atau pantun, dan bacaan-bacaan lain yang terkadang dicampur dengan rumusan bahasa Banjar.
Keenam,mereka yang mendapatkan kekebalan tubuh melalui ritual mandi, yang disebut dengan mandi taguh atau mandi kebal.
Umumnya, ritual mandi taguh dilakukan oleh mereka yang ingin bepergian jauh (madam) baik dalam rangka untuk menuntut ilmu maupun berusaha (berdagang, mendulang), mereka yang akan melaksanakan tugas berat (misalnya tentara atau polisi yang ditugaskan di daerah-daerah konflik) atau mereka yang merasa terancam jiwanya.
Menurut informasi, kitab-kitab klasik, seperti Taj al-Muluk, Dhairoby, Syamsul Ma’arif, Mujarabat, Senjata Mu’min, Aufaq al-Gazali dan sejenisnya merupakan referensi utama guru pemandian dalam mempelajari dan mendasari hal-hal yang harus dilakukan ketika melaksanakan prosesi mandi taguh.
Mengapa, mandi menjadi salah satu media penting bagi orang Banjar untuk mendapatkan kekebalan tubuh? Dalam pemahaman masyarakat Banjar, air menjadi sebuah media penting untuk mendapatkan penyembuhan atau suatu kekuatan, termasuk kekebalan tubuh. Orang Banjar meyakini, karena manusia berasal dari air, maka air pulalah yang menyebabkan dia menjadi seorang yang memiliki kekuatan tertentu. Air tidak bisa dipatahkan, air tidak bisa ditebas dengan pedang, ditombak, dan seterusnya, air akan tetap kembali ke bentuknya semula. Boleh jadi pemahaman ini akhirnya mendorong orang Banjar melakukan ritual mandi taguh untuk mendapatkan kekebalan tubuh.
Adanya pemakaian tulisan Arab dan bacaan-bacaan yang dibaca dalam bahasa Arab, menyiratkan adanya pengaruh Islam terhadap prosesi atau ritual mandi taguh. Walaupun, pemakaian benda-benda yang lain, seperti kain kuning, mantra, dan sebagainya juga menyimbolkan adanya pengaruh dari Hindu-Budha, Animisme dan Dinamisme. Namun, masing-masing dari pengaruh tersebut terlihat dari orang yang melaksanakan ritual dan jalannya prosesi mandi taguh (pemandian). Di sini, terlihat bahwa ritual mandi taguh mengalami sinkritis antara ajaran Hindu-Budha, Animisme-Dinamisme dengan Islam.
Mandi taguh memperlihatkan adanya sebuah ritual khas yang telah dilakukan sejak masa dulu hingga sekarang oleh orang Banjar untuk melindungi diri mereka dari serangan senjata tajam.
Sampai kapankah ritual budaya ini dapat bertahan? Tentunya apapun ritual yang dilakukan dengan tujuan untuk melindungi diri semata-mata semuanya karena izin Allah SWT.
(Berbagai sumber)
ARUH ADAT MASYARAKAT DAYAK MERATUS
Aruh adalah salah satu upacara ritual yang mengiringi kebudayaan huma dari Suku Dayak Meratus yang mendiami kaki hunjuran Pegunungan Meratus di Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Penduduk Loksado di dominasi oleh etnik Dayak yang sebagian besar menganut kepercayaan Kaharingan. Sebagian besar dari mereka masih tinggal di dalam rumah besar yang disebut Balai.
Aruh dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur mereka atas hasil panen yang dilimpahkan oleh Yang Maha Kuasa kepada seluruh warga. Ditiap Balai pada waktu yang bervariasi dilaksanakan upacara ritual pasca panen yang dinamakan Aruh Ganal Bawanang, yaitu sebuah ritual yang dilaksanakan di dalam balai. Lama Aruh Ganal atau pesta besar itu antara 3 sampai 7 hari, tergantung dari perolehan hasil pertanian mereka.
Saat malam berbulan setengah bayang, bunyi gamelan bertalu – talu, berpadu dengan lengkingan serunai bambu, lalu muncul dengung rapalan mantera para balian (dukun), penghubung antara alam nyata dengan alam supra natura yang seakan berebut menjangkau nada – nada tinggi. Suara – suara itu seperti berasal dari dunia lain, menyusur malam, mengalir dan terhempas dari jeram khayali yang entah dimana.
Balai akan ramai, lantai bambu berderak – derak oleh hentakan kaki para penari. Perempuan – perempuan balai akan meliuk gemulai dalam Tari Bangsai, sementara para lelakinya meliuk – liuk seperti elang terbang lewat Tari Kanjar. Mereka bergerak memutari lalaya, sebutan untuk sntrum upacara berhias janur – janur pucuk enau.
Saat malam rebah tiang, bunyi gemerincing Galang Hiyang (gelang khusus terbuat dari perunggu) di tangan para balian semakin nyaring bergemerincing. Sambil menari – nari para balian itu menggotong binatang korban untuk disembelih pada upacara Badulang Darah, sebagai puncak upacara penunai hajat kepada Yang Maha Kuasa dalam kepercayaan Dayak Meratus.
sumber : http://daha-generation1.blogspot.com/2012/10/aruh-adat-masyarakat-dayak-meratus.html
Mandau, Senjata Tradisional Kalimantan selatan
Pengantar
Kalimantan
adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya
pulau ini tidak hanya merupakan “daerah asal” orang Dayak semata karena
di sana ada orang Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang Melayu. Dan, di
kalangan orang Dayak sendiri satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan
kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang
ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan
yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian,
satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang
disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak
lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau selalu
dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang
(kehormatan dan jatidiri). Sebagai catatan, dahulu mandau dianggap
memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu
seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan
upacara.
Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.
Struktur Mandau
1. Bilah Mandau
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu.
Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin. Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.
2. Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.
3. Sarung Mandau.
Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.
Nilai Budaya
Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna. (ali gufron)
Sumber:
Umberan, Musni. Dkk. 1994. Sejarah Kebudayaan Kalimantan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
PERTEMPURAN DI GUNUNG MADANG (PERANG BANJAR)
(PERANG BANJAR)
Sebagai telah dikemukakan, sesudah bulan Muharram, kegiatan perlawanan melawan dan menggempur Belanda sangat meningkat. Dari selatan ke utara membentang nyala api pertempuran-pertempuran;
a. Di Tanah Laut, perlawanan terutama untuk menyerang Benteng Batu Tongko di bawah pimpinan Haji Buyasin dengan kawan-kawan.
b. Di Martapura di bawah pimpinan Pangeran Muda dan kawan-kawan
c. Di Pengaron di bawah pimpinan Haji Sambas
d. Di Benua Amandit di bawah Demang Leman
e. Di Benua Alai di bawah Hidayat
f. Di Balangan di bawah Jalil
g. Di Tabalong di bawah Antasari.
Baik Hidayat, maupun Antasari dan Demang Leman, selalu menjelajah seluruh daerah pertempuran, kadang bersama-sama, kadang berpisah-pisah. Hidayat dan Demang Leman meminta kepada Temenggung Antaluddin supaya meminta memimpin mendirikan benteng pertahanan di gunung Madang. Letak benteng ini sangat strategis di sebuah bukit yang tingginya k.l. 50 meter. Belum lagi benteng ini selesai seluruhnya, rupanya pihak Belanda telah mencium bau.
Pada tanggal 3 September 1860 telah datang patroli Belanda dari Amawang melalui kampung Karang Jawa dan Ambarai menuju kaki gunung (bukit) Madang. Segera pihak Belanda melihat benteng yang terdapat di puncak bukit itu. Betapakah terkejutnya, baru saja mereka berada di kaki bukit itu, mereka telah disambut dengan tembakan bedil, dan 4 serdadu bangsa Belanda kena tembak jatuh tergelimpang. Pihak Belanda mencoba mendaki bukit itu, tetapi mereka dapat dipukul mundur, pasukan Belanda yang banyaknya k.l. 30 orang terpaksa kembali ke Amawang membawa korban-korban.
Keesokan harinya datang lagi pasukan infanteri Belanda dari batalyon 13 dengan membawa senjata mortir. Mereka membawa pula beberapa puluh perantaian (kettinggangers) dengan maksud menghancurkan dan meratakan benteng itu seluruhnya. Ketika pasukan infanteri Belanda sampai di kaki Gunung Madang, mereka telah disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Tentara Belanda melemparkan 3 buah granat, tetapi ternyata bisu, tidak meletus. Di dalam benteng ini juga beberapa orang suku Bugis dan beberapa orang perantaian yang melarikan diri kepada pasukan Temenggung Antaluddin dan Demang Leman.
Betapa terkejutnya pemimpin pasukan Belanda Letnan De Brauw dan sersan De Vries, ketika dari benteng itu meneriaki namanya De Brauw dan De Vries. Dan terkejutnya lebih besar lagi ketika ia menaiki Bukit Madang untuk menyerbu benteng itu, ia hanya diikuti oleh anggota-anggota pasukannya yang berbangsa Eropa, sedang anak buahnya Inlander (suku Bumiputera) membangkang tidak ikut serta. Letnan De Brauw kena tembak di pahanya dan 9 orang tentara Belanda bangsa Eropa lainnya jatuh bergelimpangan. Walaupun bala bantuan dari Amawang datang lagi bertambah, tetapi mereka tidak berani lagi melakukan penyerbuan menaiki gunung itu lagi pada hari itu.
Setelah pertempuran pada tanggal 3 dan 4 September itu, Belanda tidak berani lagi mendaki Gunung Madang. Kapten Koch menunggu datangnya bala bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai. Barulah setelah terkumpul beberapa ratus tentaranya, mereka datang lagi pada tgl 13 September 1860 menyerbu Gunung Madang. Tentaranya yg beratus2 orang banyaknya itu membawa pula meriam dan mortir. Penembakan dengan meriam dan mortir dilakukan dari jarak 60 meter. Penyerangan kali ini di bawah pimpinan Kapten Koch dan ia memerintahkan menyerbu dari Utara dan Selatan. Penyerbuan ini mendapat perlawanan yang hebat dari anak buah Antaluddin dan bekas tentara Belanda suku Bugis, dan setelah roda meriamnya juga hancur, maka kapten koch memerintahkan tentaranya mundur dan kemudian kembali ke Amawang dan ini adalah kali ketiganya kegagalan dari pihak Belanda menggempur benteng Madang.
Kegagalan penyerbuan ini membesarkan semangat perlawanan dari pihak Rakyat Banjar. Namun pihak Hidayat mengetahui benar, bahwa pihak Belanda tentu akan melakukan lagi serangan besar-besaran terhadap benteng Gunung Madang ini. Maka oleh sebab itu, dilakukan pula persiapan-persiapan strategis untuk menghadapi serangan itu.
Berita kegagalan-kegagalan penggempuran berulang-ulang itu telah sampai di Banjarmasin. Mayor Verspyck dengan segera mengirimkan tambahan pasukan infanteri dari batalyon 13 di bawah pimpinan Mayor Schuak. Mendengar tentara Belanda yang berbangsa Indonesia ingkar untuk bertempur, maka hal ini menimbulkan murkanya, dan mereka itu diajukan kedepan pengadilan perang. Demikianlah anggota tentara di bawah Schuak itu hampir seluruhnya terdiri dari orang Eropa. Memang pada ketika itu telah lebih dari 1000 orang diturunkan bertempur di daerah Banjar, di antaranya 91 orang opsir. Pasukan Schuak dikirim dari Banjarmasin menuju Gunung Madang via Amawang datang dengan kapal.
Demikianlah pada tanggal 18 September 1860, untuk keempat kalinya, kelihatan lagi datang pasukan tentara Belanda. Pemimpin tentara Belanda di Amawang Kapten Koch ikut didalam penyerangan di benteng Gunung Madang pada hari itu yang ternyata hari nahasnya. Demang Leman dan Antaluddin dengan gagah berani memimpin pertahanan Gunung Madang. Belanda membawa sebuah houwitser, sebuah meriam berat dan mortir. Belanda menyerang dari jarak 120 meter dengan memuntahkan peluru-peluru meriam. Tentaranya 50 orang diperintahkan menyerbu dari sebelah kanan dan sekian itu pula dari kiri. Dari depan dan belakang meriam telah siap 100 orang untuk bertempur berhadap-hadapan, dan selain dari pada itu tersedia lagi tentara cadangan. Menjelang jam 11 siang, anak buah Demang Leman, dengan gigih mulai membidik tentara2 Belanda yang datang itu.
Letnan Verspyck yang berani mencoba mendekati benteng itu dengan anak buahnya dari sebelah kanan, terguling kena tembak oleh anak buah Temenggung Antaluddin. Setelah pasukan dari samping gagal, dan terpaksa kembali keinduk pasukannya, kapten Koch memerintahkan memajukan barisan meriamnya. Dengan jitu sebuah peluru dari benteng yang ditembakkan Suku Bugis yang ada dibenteng itu mengenai penembak meriam itu, dan ia jatuh tersungkur. Kapten Koch memerintahkan barisan artileri menembaki benteng itu dan ia sendiri menampilkan diri untuk menyaksikan hasil penembakan meriam terhadap benteng itu. Dan pada kesempatan ini pulalah melayang sebuah peluru dari benteng itu yang menembus dada Kapten Koch, pemimpin bala tentara Belanda didaerah Amandit, dan ia tewas pada ketika itu juga. Kedengaran pada ketika itu sorak-sorai dari dalam benteng.
Setelah tewas kapten Koch, pimpinan tentara Belanda menjadi gugup, kocar-kacir dan kemudian mengundurkan diri kembali ke Amawang, dengan sedih menggotong korban-korban.
Beberapa hari setelah kematian kapten Koch itu, benteng Gunung Madang tidak mendapat gangguan dari pihak Belanda. Kesempatan ini dipergunakan untuk mempersiapkan menyambut penggempuran yang ke lima ini. Demang Leman mendapat kabar dari penakawannya, bahwa Amawang telah mendapat lagi bala bantuan dari darat dan juga ada yang datang dengan kapal. Untuk menghadapi serangan hebat itu, Demang Leman dan Temenggung Antaluddin bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin anak buahnya. Pada ketika itu diambil keputusan mengambil siasat akan mengadakan pukulan hebat terakhir dan kemudian sebagian demi sebagian isi benteng akan keluar meninggalkan benteng.
Benarlah pada tanggal 22 September 1860, datanglah kelompok-kelompok pasukan tentara Belanda bergelombang-gelombang menuju ke arah benteng Madang. Kali ini mereka tidak terus mengadakan penyerbuan tapi mereka lebih dulu mendirikan bevak-bevak (kemah-kemah) dan dijaga dengan ketat. Tampak betul pihak Belanda bersiap untuk mengepung benteng gunung Madang itu dengan perhitungan jangka panjang.
Sebaliknya baru saja pasukan yang dipimpin Schuak itu datang, mereka telah disambut dengan tembakan-tembakan dari benteng. Pihak Belanda sendiri rupanya pada hari pertama itu hanya ingin menitikberatkan di dalam persiapan menyusun meriam-meriam dan mortirnya. Barulah pada keesokan harinya mereka mulai menembakkan meriam-meriamnya memuntahkan tidak kurang dari 50 buah peluru dan melemparkan tidak kurang dari 30 granat . Yang mengherankan Belanda adalah sebagian daripada granat itu tidak meledak. Pada hari itu tembak menembak sangat gemuruh. Tampak betapa banyaknya tentara Belanda yang jatuh bergelimpangan, di antaranya ada pula opsir-opsirnya. Pihak Belanda mencoba memperkecil lingkarannya mengepung benteng itu menjelang malam hari.
Tetapi betapa terkejutnya mereka, ketika di sekitar jam 11 malam, pasukan Demang Leman dan Antaluddin tiba-tiba mengadakan serangan besar-besaran dengan menggunakan lila dan senapan. Tembakan yang terus menerus dengan gencarnya ini memuncak di sekitar jam 3 subuh dengan serangan-serangan serempak. Pasukan Belanda saat itu menjadi kucar-kacir dan mundur. Kesempatan inilah dipergunakan Demang Leman dan Temenggung Antaluddin meninggalkan benteng itu, sedang untuk mengelabui pihak Belanda, dari benteng itu terus menerus dilakukan penembakan sampai jam setengah lima subuh.
Dan betapa kecele (kecewa) Belanda ketika mereka dengan merangkak sampai di atas benteng jam 5 subuh, benteng itu telah kosong, hanya ada tinggal bangkai seorang prajurit. Belanda sangat kecewa, karena untuk merebut benteng itu banyak korban di pihaknya termasuk beberapa opsir, ya bahkan seorang dari padanya adalah pemimpin bala tentara Belanda daerah Amandit. Sedang benteng ini barulah dapat direbutnya setelah empat kali kekalahan memalukan, dengan banyak kerugian materil, moril personil.
Pasukan Demang Leman dan Temenggung Antaluddin pada malam itu dengan cerdik dapat memperdaya kepungan Belanda dan seperti direncanakan kemudian bergabung dengan kekuatan pasukan Banjar yang berada di sebelah utara antaranya Batu Mandi. Di antaranya ada pula pasukan-pasukan kecil yang sengaja berpisah dari induk pasukan, masuk menyeludup ke daerah-daerah yang telah diduduki Belanda dan selanjutnya di daerah itu kemudian mengadakan serangan-serangan.
Rombongan yang dipimpin oleh Kiai Cakra Wati berangkat menuju Pamaton. Kiai Cakra Wati adalah pemimpin wanita yang ikut bertempur di mana-mana dengan berpakaian laki-laki dan sangat tangkas berpacu kuda. Biasanya ia diapit oleh beberapa penakawan wanita pula. Salah satu pasukan yang sengaja memisahkan diri di bawah pimpinan Lurah Mira telah menggempur kampung yang kepalanya berpihak kepada Belanda di dalam pertempuran di Gunung Madang. Setelah berhasil melakukan tugas mengadakan pukulan hebat kepada lawan, Lurah Mira dan kawan-kawannya jatuh sebagai Pahlawan di dalam suatu pertempuran.
sumber foto/lukisan >> http://kitlv.pictura-dp.nl/index.php?option=com_memorix&Itemid=28&task=topview&CollectionID=1&RecordID=16388&PhotoID=KLV001000063
Sumber Tulisan >>BB04- Pangiran Hidayatullah http://www.facebook.com/photo.php?pid=4508385&id=207121513050 yang menulis kembali dari buku PERANG BANJAR karangan H.Gusti Mayur S.H. hal 68
Sebagai telah dikemukakan, sesudah bulan Muharram, kegiatan perlawanan melawan dan menggempur Belanda sangat meningkat. Dari selatan ke utara membentang nyala api pertempuran-pertempuran;
a. Di Tanah Laut, perlawanan terutama untuk menyerang Benteng Batu Tongko di bawah pimpinan Haji Buyasin dengan kawan-kawan.
b. Di Martapura di bawah pimpinan Pangeran Muda dan kawan-kawan
c. Di Pengaron di bawah pimpinan Haji Sambas
d. Di Benua Amandit di bawah Demang Leman
e. Di Benua Alai di bawah Hidayat
f. Di Balangan di bawah Jalil
g. Di Tabalong di bawah Antasari.
Baik Hidayat, maupun Antasari dan Demang Leman, selalu menjelajah seluruh daerah pertempuran, kadang bersama-sama, kadang berpisah-pisah. Hidayat dan Demang Leman meminta kepada Temenggung Antaluddin supaya meminta memimpin mendirikan benteng pertahanan di gunung Madang. Letak benteng ini sangat strategis di sebuah bukit yang tingginya k.l. 50 meter. Belum lagi benteng ini selesai seluruhnya, rupanya pihak Belanda telah mencium bau.
Pada tanggal 3 September 1860 telah datang patroli Belanda dari Amawang melalui kampung Karang Jawa dan Ambarai menuju kaki gunung (bukit) Madang. Segera pihak Belanda melihat benteng yang terdapat di puncak bukit itu. Betapakah terkejutnya, baru saja mereka berada di kaki bukit itu, mereka telah disambut dengan tembakan bedil, dan 4 serdadu bangsa Belanda kena tembak jatuh tergelimpang. Pihak Belanda mencoba mendaki bukit itu, tetapi mereka dapat dipukul mundur, pasukan Belanda yang banyaknya k.l. 30 orang terpaksa kembali ke Amawang membawa korban-korban.
Keesokan harinya datang lagi pasukan infanteri Belanda dari batalyon 13 dengan membawa senjata mortir. Mereka membawa pula beberapa puluh perantaian (kettinggangers) dengan maksud menghancurkan dan meratakan benteng itu seluruhnya. Ketika pasukan infanteri Belanda sampai di kaki Gunung Madang, mereka telah disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Tentara Belanda melemparkan 3 buah granat, tetapi ternyata bisu, tidak meletus. Di dalam benteng ini juga beberapa orang suku Bugis dan beberapa orang perantaian yang melarikan diri kepada pasukan Temenggung Antaluddin dan Demang Leman.
Betapa terkejutnya pemimpin pasukan Belanda Letnan De Brauw dan sersan De Vries, ketika dari benteng itu meneriaki namanya De Brauw dan De Vries. Dan terkejutnya lebih besar lagi ketika ia menaiki Bukit Madang untuk menyerbu benteng itu, ia hanya diikuti oleh anggota-anggota pasukannya yang berbangsa Eropa, sedang anak buahnya Inlander (suku Bumiputera) membangkang tidak ikut serta. Letnan De Brauw kena tembak di pahanya dan 9 orang tentara Belanda bangsa Eropa lainnya jatuh bergelimpangan. Walaupun bala bantuan dari Amawang datang lagi bertambah, tetapi mereka tidak berani lagi melakukan penyerbuan menaiki gunung itu lagi pada hari itu.
Setelah pertempuran pada tanggal 3 dan 4 September itu, Belanda tidak berani lagi mendaki Gunung Madang. Kapten Koch menunggu datangnya bala bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai. Barulah setelah terkumpul beberapa ratus tentaranya, mereka datang lagi pada tgl 13 September 1860 menyerbu Gunung Madang. Tentaranya yg beratus2 orang banyaknya itu membawa pula meriam dan mortir. Penembakan dengan meriam dan mortir dilakukan dari jarak 60 meter. Penyerangan kali ini di bawah pimpinan Kapten Koch dan ia memerintahkan menyerbu dari Utara dan Selatan. Penyerbuan ini mendapat perlawanan yang hebat dari anak buah Antaluddin dan bekas tentara Belanda suku Bugis, dan setelah roda meriamnya juga hancur, maka kapten koch memerintahkan tentaranya mundur dan kemudian kembali ke Amawang dan ini adalah kali ketiganya kegagalan dari pihak Belanda menggempur benteng Madang.
Kegagalan penyerbuan ini membesarkan semangat perlawanan dari pihak Rakyat Banjar. Namun pihak Hidayat mengetahui benar, bahwa pihak Belanda tentu akan melakukan lagi serangan besar-besaran terhadap benteng Gunung Madang ini. Maka oleh sebab itu, dilakukan pula persiapan-persiapan strategis untuk menghadapi serangan itu.
Berita kegagalan-kegagalan penggempuran berulang-ulang itu telah sampai di Banjarmasin. Mayor Verspyck dengan segera mengirimkan tambahan pasukan infanteri dari batalyon 13 di bawah pimpinan Mayor Schuak. Mendengar tentara Belanda yang berbangsa Indonesia ingkar untuk bertempur, maka hal ini menimbulkan murkanya, dan mereka itu diajukan kedepan pengadilan perang. Demikianlah anggota tentara di bawah Schuak itu hampir seluruhnya terdiri dari orang Eropa. Memang pada ketika itu telah lebih dari 1000 orang diturunkan bertempur di daerah Banjar, di antaranya 91 orang opsir. Pasukan Schuak dikirim dari Banjarmasin menuju Gunung Madang via Amawang datang dengan kapal.
Demikianlah pada tanggal 18 September 1860, untuk keempat kalinya, kelihatan lagi datang pasukan tentara Belanda. Pemimpin tentara Belanda di Amawang Kapten Koch ikut didalam penyerangan di benteng Gunung Madang pada hari itu yang ternyata hari nahasnya. Demang Leman dan Antaluddin dengan gagah berani memimpin pertahanan Gunung Madang. Belanda membawa sebuah houwitser, sebuah meriam berat dan mortir. Belanda menyerang dari jarak 120 meter dengan memuntahkan peluru-peluru meriam. Tentaranya 50 orang diperintahkan menyerbu dari sebelah kanan dan sekian itu pula dari kiri. Dari depan dan belakang meriam telah siap 100 orang untuk bertempur berhadap-hadapan, dan selain dari pada itu tersedia lagi tentara cadangan. Menjelang jam 11 siang, anak buah Demang Leman, dengan gigih mulai membidik tentara2 Belanda yang datang itu.
Letnan Verspyck yang berani mencoba mendekati benteng itu dengan anak buahnya dari sebelah kanan, terguling kena tembak oleh anak buah Temenggung Antaluddin. Setelah pasukan dari samping gagal, dan terpaksa kembali keinduk pasukannya, kapten Koch memerintahkan memajukan barisan meriamnya. Dengan jitu sebuah peluru dari benteng yang ditembakkan Suku Bugis yang ada dibenteng itu mengenai penembak meriam itu, dan ia jatuh tersungkur. Kapten Koch memerintahkan barisan artileri menembaki benteng itu dan ia sendiri menampilkan diri untuk menyaksikan hasil penembakan meriam terhadap benteng itu. Dan pada kesempatan ini pulalah melayang sebuah peluru dari benteng itu yang menembus dada Kapten Koch, pemimpin bala tentara Belanda didaerah Amandit, dan ia tewas pada ketika itu juga. Kedengaran pada ketika itu sorak-sorai dari dalam benteng.
Setelah tewas kapten Koch, pimpinan tentara Belanda menjadi gugup, kocar-kacir dan kemudian mengundurkan diri kembali ke Amawang, dengan sedih menggotong korban-korban.
Beberapa hari setelah kematian kapten Koch itu, benteng Gunung Madang tidak mendapat gangguan dari pihak Belanda. Kesempatan ini dipergunakan untuk mempersiapkan menyambut penggempuran yang ke lima ini. Demang Leman mendapat kabar dari penakawannya, bahwa Amawang telah mendapat lagi bala bantuan dari darat dan juga ada yang datang dengan kapal. Untuk menghadapi serangan hebat itu, Demang Leman dan Temenggung Antaluddin bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin anak buahnya. Pada ketika itu diambil keputusan mengambil siasat akan mengadakan pukulan hebat terakhir dan kemudian sebagian demi sebagian isi benteng akan keluar meninggalkan benteng.
Benarlah pada tanggal 22 September 1860, datanglah kelompok-kelompok pasukan tentara Belanda bergelombang-gelombang menuju ke arah benteng Madang. Kali ini mereka tidak terus mengadakan penyerbuan tapi mereka lebih dulu mendirikan bevak-bevak (kemah-kemah) dan dijaga dengan ketat. Tampak betul pihak Belanda bersiap untuk mengepung benteng gunung Madang itu dengan perhitungan jangka panjang.
Sebaliknya baru saja pasukan yang dipimpin Schuak itu datang, mereka telah disambut dengan tembakan-tembakan dari benteng. Pihak Belanda sendiri rupanya pada hari pertama itu hanya ingin menitikberatkan di dalam persiapan menyusun meriam-meriam dan mortirnya. Barulah pada keesokan harinya mereka mulai menembakkan meriam-meriamnya memuntahkan tidak kurang dari 50 buah peluru dan melemparkan tidak kurang dari 30 granat . Yang mengherankan Belanda adalah sebagian daripada granat itu tidak meledak. Pada hari itu tembak menembak sangat gemuruh. Tampak betapa banyaknya tentara Belanda yang jatuh bergelimpangan, di antaranya ada pula opsir-opsirnya. Pihak Belanda mencoba memperkecil lingkarannya mengepung benteng itu menjelang malam hari.
Tetapi betapa terkejutnya mereka, ketika di sekitar jam 11 malam, pasukan Demang Leman dan Antaluddin tiba-tiba mengadakan serangan besar-besaran dengan menggunakan lila dan senapan. Tembakan yang terus menerus dengan gencarnya ini memuncak di sekitar jam 3 subuh dengan serangan-serangan serempak. Pasukan Belanda saat itu menjadi kucar-kacir dan mundur. Kesempatan inilah dipergunakan Demang Leman dan Temenggung Antaluddin meninggalkan benteng itu, sedang untuk mengelabui pihak Belanda, dari benteng itu terus menerus dilakukan penembakan sampai jam setengah lima subuh.
Dan betapa kecele (kecewa) Belanda ketika mereka dengan merangkak sampai di atas benteng jam 5 subuh, benteng itu telah kosong, hanya ada tinggal bangkai seorang prajurit. Belanda sangat kecewa, karena untuk merebut benteng itu banyak korban di pihaknya termasuk beberapa opsir, ya bahkan seorang dari padanya adalah pemimpin bala tentara Belanda daerah Amandit. Sedang benteng ini barulah dapat direbutnya setelah empat kali kekalahan memalukan, dengan banyak kerugian materil, moril personil.
Pasukan Demang Leman dan Temenggung Antaluddin pada malam itu dengan cerdik dapat memperdaya kepungan Belanda dan seperti direncanakan kemudian bergabung dengan kekuatan pasukan Banjar yang berada di sebelah utara antaranya Batu Mandi. Di antaranya ada pula pasukan-pasukan kecil yang sengaja berpisah dari induk pasukan, masuk menyeludup ke daerah-daerah yang telah diduduki Belanda dan selanjutnya di daerah itu kemudian mengadakan serangan-serangan.
Rombongan yang dipimpin oleh Kiai Cakra Wati berangkat menuju Pamaton. Kiai Cakra Wati adalah pemimpin wanita yang ikut bertempur di mana-mana dengan berpakaian laki-laki dan sangat tangkas berpacu kuda. Biasanya ia diapit oleh beberapa penakawan wanita pula. Salah satu pasukan yang sengaja memisahkan diri di bawah pimpinan Lurah Mira telah menggempur kampung yang kepalanya berpihak kepada Belanda di dalam pertempuran di Gunung Madang. Setelah berhasil melakukan tugas mengadakan pukulan hebat kepada lawan, Lurah Mira dan kawan-kawannya jatuh sebagai Pahlawan di dalam suatu pertempuran.
sumber foto/lukisan >> http://kitlv.pictura-dp.nl/index.php?option=com_memorix&Itemid=28&task=topview&CollectionID=1&RecordID=16388&PhotoID=KLV001000063
Sumber Tulisan >>BB04- Pangiran Hidayatullah http://www.facebook.com/photo.php?pid=4508385&id=207121513050 yang menulis kembali dari buku PERANG BANJAR karangan H.Gusti Mayur S.H. hal 68
Sejarah desa Karang jawa (karangan kai Samlan)
Sejarah Desa Karang Djawa Muka
Nara Sumber: tutuha kampung/ pengamat dan saksi sejarah : Kai Samlan
Desa Karang Djawa adalah salah satu desa tertua di kecamatan Padang Batung, Kandangan, Hss. Sebelum pemekaran, desa Karang Jawa mungkin terluas di kecamatan Padang Batung, dan sekarang desa karang djawa setelah pemekaran terbagi menjadi 2 yaitu desa Karang Jawa muka dan Desa Karang Jawa Hulu dan di batasi oleh sungai kecil cabang sungai Amandit di Sebelah selatan berbatasan dengan desa sungai Kudung dan desa Karang Jawa adalah hamparan tanah yang subur. Oleh sebab itu masyarakatnya sebagian besar adalah petani.
Soal pendidikan Ds.Karang Djawa sudah lama maju, Masyarakat Karang Jawa muka sudah lama bebas aksara latin dan Aksara arab (tidak buta huruf). Sarana pendidikan juga sdh mempunyai : 1 sekolah SMPN, SD 2 buah, TK 1 Buah, 1 TPA-Al-Qur’an .
Asal Usul / Legenda desa Karang Jawa :
Menurut orang-orang tua Zaman dahulu, nama desa karang djawa diambil dari proses pembauran dari penduduk local dan suku jawa. Konon menurut orang tua , kerajaan Banjar dahulu kala Saling berkunjung dengan Kerajaan Majapahit. Pada saat itu pendatang baru dari tanah Jawa berdatangan ke desa ini. Maka terjadilah suatu pembauran antra penduduk local dan penduduk pendatang dari Jawa, maka desa ini di namakan desa Karang Jawa.
Tokoh Legendaris dari desa Karang Djawa Muka ini mulai Zaman Kebangkitan Nasional dan Zaman Revolusi dan Zaman Kemerdekaan, merdeka dari penjajah Belanda, Inggris dan Jepang. Desa Karang Jawa sangat lah Heriok menentang segala bentuk penjajahan.
Di saat Pergerakan dan kebangkitan Nasional di tokohi oleh,“JULAK JAFAR ” meninggal tahun 1950 di makamkan dijalan gerilya Karang Jawa Muka, Tokoh yang lain pada saat kebangkitan Nasional adalah “TARANG BIN SA’AT ” meninggal tahun 1974 di makamkan di jalan gerilya.
Di zaman revolusi Kemerdekaan ada tokoh Revolusi yaitu Letnan satu Dumam bin Ahmad, Kapten Samideri Dumam, Ma’rufi bin util, dan Setia Budi, H.M.Yusi Semua meninggal dan di makamkan di desa karang Jawa Muka, itu lah Tokoh revolusi yang berasal dari desa Karang Jawa Muka.
itu lah sekilas tentang desa karang Jawa..
ttd penulis
Rendra
Nara Sumber: tutuha kampung/ pengamat dan saksi sejarah : Kai Samlan
Desa Karang Djawa adalah salah satu desa tertua di kecamatan Padang Batung, Kandangan, Hss. Sebelum pemekaran, desa Karang Jawa mungkin terluas di kecamatan Padang Batung, dan sekarang desa karang djawa setelah pemekaran terbagi menjadi 2 yaitu desa Karang Jawa muka dan Desa Karang Jawa Hulu dan di batasi oleh sungai kecil cabang sungai Amandit di Sebelah selatan berbatasan dengan desa sungai Kudung dan desa Karang Jawa adalah hamparan tanah yang subur. Oleh sebab itu masyarakatnya sebagian besar adalah petani.
Soal pendidikan Ds.Karang Djawa sudah lama maju, Masyarakat Karang Jawa muka sudah lama bebas aksara latin dan Aksara arab (tidak buta huruf). Sarana pendidikan juga sdh mempunyai : 1 sekolah SMPN, SD 2 buah, TK 1 Buah, 1 TPA-Al-Qur’an .
Asal Usul / Legenda desa Karang Jawa :
Menurut orang-orang tua Zaman dahulu, nama desa karang djawa diambil dari proses pembauran dari penduduk local dan suku jawa. Konon menurut orang tua , kerajaan Banjar dahulu kala Saling berkunjung dengan Kerajaan Majapahit. Pada saat itu pendatang baru dari tanah Jawa berdatangan ke desa ini. Maka terjadilah suatu pembauran antra penduduk local dan penduduk pendatang dari Jawa, maka desa ini di namakan desa Karang Jawa.
Tokoh Legendaris dari desa Karang Djawa Muka ini mulai Zaman Kebangkitan Nasional dan Zaman Revolusi dan Zaman Kemerdekaan, merdeka dari penjajah Belanda, Inggris dan Jepang. Desa Karang Jawa sangat lah Heriok menentang segala bentuk penjajahan.
Di saat Pergerakan dan kebangkitan Nasional di tokohi oleh,“JULAK JAFAR ” meninggal tahun 1950 di makamkan dijalan gerilya Karang Jawa Muka, Tokoh yang lain pada saat kebangkitan Nasional adalah “TARANG BIN SA’AT ” meninggal tahun 1974 di makamkan di jalan gerilya.
Di zaman revolusi Kemerdekaan ada tokoh Revolusi yaitu Letnan satu Dumam bin Ahmad, Kapten Samideri Dumam, Ma’rufi bin util, dan Setia Budi, H.M.Yusi Semua meninggal dan di makamkan di desa karang Jawa Muka, itu lah Tokoh revolusi yang berasal dari desa Karang Jawa Muka.
itu lah sekilas tentang desa karang Jawa..
ttd penulis
Rendra
Sejarah Perjuangan dan Mistik di balik Kisah Heroik Perjuangan Rakyat Kandangan, Kalsel
Penulis : Rendra
Email : Ibnezhack@yahoo.co.id
Pada Era Revolusi fisik di Kalimantan selatan, tapatnya di kota Kandangan atau Kab.Hulu Sungai Selatan menyimpan sejarah besar perjuangan rakyat dan pasukan Militer ALRI beserta sejarah Mistik daerah tersebut dan sebuah kampung yang tak pernah dapat di jajah oleh belanda.
Pada waktu penjajahan Kolonial Belanda di Tanah air, pada era revolusi fisik, kota Kandangan adalah salah satu kota Kolonial belanda, atau keresidenan belanda di Kalimantan Selatan. Di kota itu lah pernah terjadi pertempuran dahsyat antra Penjajah Belanda dengan ALRI beserta rakyat kandangan yaitu pertempuran “garis demarkasi”. Di sebuah desa bernama Karang Djawa adalah saksi bisu pertempuran dahsyat tersebut, pertempuran memperebutkan Batas Garis demarkasi (garis batas kekuasaan Belanda).
Di mana para pejuang-pejuang ALRI dan Rakyat kandangan dengan gigih melawan belanda, salah satu pejuang DIVISI IV ALRI Kalimantan Selatan yang mungkin di kenal namanya ialah “Brigjend.H.Hassan Basry” yg mendapat julukan bapak gerilya Kalimantan ini adalah pencetus Strategi perang gerilya yang akhirnya berhasil menepuk mundur dan menewaskan banyak tentara di pihak belanda. Terlepas dari semua itu para pejuang dan warga desa karang jawa dan sekitarnya tidak hanya bermodal tenaga fikiran dan strategi saja, mereka juga mempunyai sebuah “syarat”,dan memakai sesuatu yg bersifat magis untuk melindungi dirinya, seperti halnya ilmu kekebalan, dll yg dapat melindungi diri mereka dari senjata para penjajah.
Baju di atas adalah “baju ba wafaq/ rajah” milik seorang komandan pasukan ALRI yaitu Samideri Dumam (masih kakek/ saudara dari nenek penulis) yang di fungsikan beliau pada masa revolusi fisik pertempuran garis demarkasi desa karang djawa, baju tersebut berfungsi untuk (kekebalan) dari sejata tajam maupun peluru dari senjata api para penjajah. Dan pernah dari kesaksian nyta orang2 tua, beliau pernah beberapa kali menahan tembakan peluru yang di tujukan kepada beliau. Dan Akhirnya beliulah orang yg paling banyak mebunuh dan membantai belanda Pada saat itu di samping itu beliau juga menguasai beberapa Ilmu kedigdyaan lainnya yg di pergunakaan untuk berperang melawan penjajah.( baju be wafaq/rajah yg pernah di gunakan beliau tersebut kini bisa di lihat di museum perjuangan Kalsel Waja Sampai Kaputing ”WASAKA”, Banjarmasin.)
(babatsal)atau jimat kalung dan ikat pinggang milik seorang pejuang Kandangan dalam menumpas Belanda. Berfungsi untuk kekebalan.
Selain Benda-Benda di atas banyak Ilmu-Ilmu yang di gunakan dalam menumpas penjajah belanda, dari yg berasal dari suku pedalaman dayak maupun yang bernafas Islami melayu kalimantan, dan untalan dll.
Dalam revolusi fisik dan pertempuran Garis Demarkasi di desa karang jawa para pejuang Kandangan berhasil menumpas para penjajah belanda dan pada akhirnya belanda mendatangkan pasukan khusus mereka yang ganas yang di tarik dari Madura, dan Akhirnya dapat di tumpas. Pada akhirnya penjajah belanda mengalami kekalahan dan mendapat banyak korban di pihaknya, berkat Strategi, kegigihan dan semngat para rakyat dan para Pasukan ALRI beserta rahmat dan anugerah Tuhan pada akhirnya pada tanggal 17 Mei 1949 setelah belanda berhasil di tumpas tepatnya di desa Durian rabung kec. Padang batung yang masih wilayah demarkasi itulah tepat di bacakannya Text proklamasi Kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya di Bumi Kalimantan.
Dan dari dulu hingga sekarang “desa Karang Dawa” adlah desa yang tak pernah Di jajah Belanda Hingga Kemerdekaan Indonesia, Bahkan dengan segala upaya, serangan dan gempuran dari penjajah. Dan itu semua karma Kegigihan para rakyat dan tentra ALRI dari berbagai daerah di Kaliamntan Selatan yang gigih membantu dlm berperang.
Berdsarkan Sejarah dan Histori tersebut orang-orang atau rakyat kandangan cenderung kebanyakan bersifat keras hati, temperamental yang menjadi ciri khas watak rakyat Kandangan hingga Kini, bahkan mereka di kenal adalah orang-orang yang pemberani bahkan ada yg rela mempertaruhkan nyawa meraka dalam berkelahi demi harga keberaniannya.
Bahkan sampai kini Kota kandangan yg di kenal Kota ketupat dan Dodol tersebut di Identikan dengan Ilmu Kekebalan yang ada di Daerah Kalimantan selatan, bahkan kebanyakan Ilmu kebal
Di Kota Kandangan Mngunakkan untlan (minyak yg mempunyai kekuatan magis dengan cara di telan) Bahkan katanya Anak orang No.1 di jaman orde Baru “Toemi Soeharto” pernah di kabarkan pernah berguru Ilmu kebal di Kota ttsb.
“jadi, perjuangan-perjuangan merebut kemerdekaan di bumi nusantra ini juga selalu di sertai dengan Ilmu-ilmu Di luar nalar yang di wariskan oleh Leluhur kita yagn telah menjadi budaya khas orang Indonesia di seluruh nusantra, bahkan orang-orang pribumi yang tangguh seperti Sultan Hasanudin yg berjulukan ayam jago dari timur, Fatahillah, dan byk lagi yg lainnya adalah orang pribumi yang di anggap hebat oleh rang barat”
Email : Ibnezhack@yahoo.co.id
Pada Era Revolusi fisik di Kalimantan selatan, tapatnya di kota Kandangan atau Kab.Hulu Sungai Selatan menyimpan sejarah besar perjuangan rakyat dan pasukan Militer ALRI beserta sejarah Mistik daerah tersebut dan sebuah kampung yang tak pernah dapat di jajah oleh belanda.
Pada waktu penjajahan Kolonial Belanda di Tanah air, pada era revolusi fisik, kota Kandangan adalah salah satu kota Kolonial belanda, atau keresidenan belanda di Kalimantan Selatan. Di kota itu lah pernah terjadi pertempuran dahsyat antra Penjajah Belanda dengan ALRI beserta rakyat kandangan yaitu pertempuran “garis demarkasi”. Di sebuah desa bernama Karang Djawa adalah saksi bisu pertempuran dahsyat tersebut, pertempuran memperebutkan Batas Garis demarkasi (garis batas kekuasaan Belanda).
Di mana para pejuang-pejuang ALRI dan Rakyat kandangan dengan gigih melawan belanda, salah satu pejuang DIVISI IV ALRI Kalimantan Selatan yang mungkin di kenal namanya ialah “Brigjend.H.Hassan Basry” yg mendapat julukan bapak gerilya Kalimantan ini adalah pencetus Strategi perang gerilya yang akhirnya berhasil menepuk mundur dan menewaskan banyak tentara di pihak belanda. Terlepas dari semua itu para pejuang dan warga desa karang jawa dan sekitarnya tidak hanya bermodal tenaga fikiran dan strategi saja, mereka juga mempunyai sebuah “syarat”,dan memakai sesuatu yg bersifat magis untuk melindungi dirinya, seperti halnya ilmu kekebalan, dll yg dapat melindungi diri mereka dari senjata para penjajah.
Baju di atas adalah “baju ba wafaq/ rajah” milik seorang komandan pasukan ALRI yaitu Samideri Dumam (masih kakek/ saudara dari nenek penulis) yang di fungsikan beliau pada masa revolusi fisik pertempuran garis demarkasi desa karang djawa, baju tersebut berfungsi untuk (kekebalan) dari sejata tajam maupun peluru dari senjata api para penjajah. Dan pernah dari kesaksian nyta orang2 tua, beliau pernah beberapa kali menahan tembakan peluru yang di tujukan kepada beliau. Dan Akhirnya beliulah orang yg paling banyak mebunuh dan membantai belanda Pada saat itu di samping itu beliau juga menguasai beberapa Ilmu kedigdyaan lainnya yg di pergunakaan untuk berperang melawan penjajah.( baju be wafaq/rajah yg pernah di gunakan beliau tersebut kini bisa di lihat di museum perjuangan Kalsel Waja Sampai Kaputing ”WASAKA”, Banjarmasin.)
(babatsal)atau jimat kalung dan ikat pinggang milik seorang pejuang Kandangan dalam menumpas Belanda. Berfungsi untuk kekebalan.
Selain Benda-Benda di atas banyak Ilmu-Ilmu yang di gunakan dalam menumpas penjajah belanda, dari yg berasal dari suku pedalaman dayak maupun yang bernafas Islami melayu kalimantan, dan untalan dll.
Dalam revolusi fisik dan pertempuran Garis Demarkasi di desa karang jawa para pejuang Kandangan berhasil menumpas para penjajah belanda dan pada akhirnya belanda mendatangkan pasukan khusus mereka yang ganas yang di tarik dari Madura, dan Akhirnya dapat di tumpas. Pada akhirnya penjajah belanda mengalami kekalahan dan mendapat banyak korban di pihaknya, berkat Strategi, kegigihan dan semngat para rakyat dan para Pasukan ALRI beserta rahmat dan anugerah Tuhan pada akhirnya pada tanggal 17 Mei 1949 setelah belanda berhasil di tumpas tepatnya di desa Durian rabung kec. Padang batung yang masih wilayah demarkasi itulah tepat di bacakannya Text proklamasi Kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya di Bumi Kalimantan.
Dan dari dulu hingga sekarang “desa Karang Dawa” adlah desa yang tak pernah Di jajah Belanda Hingga Kemerdekaan Indonesia, Bahkan dengan segala upaya, serangan dan gempuran dari penjajah. Dan itu semua karma Kegigihan para rakyat dan tentra ALRI dari berbagai daerah di Kaliamntan Selatan yang gigih membantu dlm berperang.
Berdsarkan Sejarah dan Histori tersebut orang-orang atau rakyat kandangan cenderung kebanyakan bersifat keras hati, temperamental yang menjadi ciri khas watak rakyat Kandangan hingga Kini, bahkan mereka di kenal adalah orang-orang yang pemberani bahkan ada yg rela mempertaruhkan nyawa meraka dalam berkelahi demi harga keberaniannya.
Bahkan sampai kini Kota kandangan yg di kenal Kota ketupat dan Dodol tersebut di Identikan dengan Ilmu Kekebalan yang ada di Daerah Kalimantan selatan, bahkan kebanyakan Ilmu kebal
Di Kota Kandangan Mngunakkan untlan (minyak yg mempunyai kekuatan magis dengan cara di telan) Bahkan katanya Anak orang No.1 di jaman orde Baru “Toemi Soeharto” pernah di kabarkan pernah berguru Ilmu kebal di Kota ttsb.
“jadi, perjuangan-perjuangan merebut kemerdekaan di bumi nusantra ini juga selalu di sertai dengan Ilmu-ilmu Di luar nalar yang di wariskan oleh Leluhur kita yagn telah menjadi budaya khas orang Indonesia di seluruh nusantra, bahkan orang-orang pribumi yang tangguh seperti Sultan Hasanudin yg berjulukan ayam jago dari timur, Fatahillah, dan byk lagi yg lainnya adalah orang pribumi yang di anggap hebat oleh rang barat”
Adab Mencari Intan di Tanah Banjar
Intan, kata untuk melambangkan gengsi tertinggi bagi para pencinta
perhiasan. Bermilyar-milyar rupiah tiap tahunnya uang dibelanjakan orang
seluruh dunia untuk memiliki benda satu ini. Di daerah Kalimantan
Selatan, Kabupaten Banjar, disinilah intan berada tapi tidak semua orang
memiliki kemampuan mendapatkannya. Intan di tanah Banjar adalah hal
gaib penuh mistis dan berbagai aturan yang ketat untuk bisa
mendapatkannya.
Entah kenapa intan mungkin merupakan satu-satunya hasil bumi tanah Banjar yang tidak bisa dijamah oleh orang asing. Minyak bumi, batu bara, batu besi, emas, dan lainnya bisa saja dengan mudah ditambang, asal dengan alat modern maka hasilnya akan banyak. Tetapi intan tidak semudah itu bisa ‘dijemput’ dari singgasananya di dalam perut bumi.
Pada tahun 1960 – 1970, di Kabupaten Banjar pernah dibuka usaha pertambangan modern dengan pelaksana PT. Aneka Tambang. Lahan garapannya mencapai wilayah 2 kecamatan, sebagaimana pertambangan modern alat yang dipakai adalah alat berat dan mesin-mesin bertenaga raksasa sampai keterlibatan tenaga ahli pertambangan dari luar negeri serta karyawan yang banyak. Tapi hasilnya tidak sebanding dengan modal yang dikucurkan padahal cukup dapat beberapa butir intan saja maka modal pasti balik. Nyatanya selama sepuluh tahun itu tidak pernah mendapatkan hasil memuaskan akhirnya usaha negara ini ditutup dengan kesimpulan wilayahnya tidak layak tambang.
Berbeda dengan masyarakat Banjar yang mendulang disana, dari dulu sampai sekarang mereka masih bisa menemukan beberapa intan dalam setahun cukup untuk membeli rumah dan tanah bahkan beberapa kali pergi haji. Memang kenyataan yang mengherankan tetapi nyata terjadi, bagi orang pendulangan mencari intan penuh dengan adab-adab yang harus mereka patuhi agar tidak terkena pamali yang mengakibatkan intan lari ke dalam perut bumi. Berikut beberapa aturan pokok yang harus ditaati saat mencari intan di tanah Banjar:
Selain itu ada istilah yang tidak boleh diucapkan yaitu ‘padi/beras/banih’ harus diganti dengan kata ‘biji’, hal ini akibat SUMPAH yang diucapkan intan kepada manusia akibat sakit hatinya intan terhadap perlakuan manusia kepadanya. Konon sumpah ini yang menyebabkan intan di tanah Banjar begitu sulit dicari sampai ke dalam perut Bumi.
Demikian hal tabu yang harus dihindari bagi orang yang ingin mengadu nasib mencari si Galuh di tanah Sultan, tanahnya urang Banjar.
Entah kenapa intan mungkin merupakan satu-satunya hasil bumi tanah Banjar yang tidak bisa dijamah oleh orang asing. Minyak bumi, batu bara, batu besi, emas, dan lainnya bisa saja dengan mudah ditambang, asal dengan alat modern maka hasilnya akan banyak. Tetapi intan tidak semudah itu bisa ‘dijemput’ dari singgasananya di dalam perut bumi.
Pada tahun 1960 – 1970, di Kabupaten Banjar pernah dibuka usaha pertambangan modern dengan pelaksana PT. Aneka Tambang. Lahan garapannya mencapai wilayah 2 kecamatan, sebagaimana pertambangan modern alat yang dipakai adalah alat berat dan mesin-mesin bertenaga raksasa sampai keterlibatan tenaga ahli pertambangan dari luar negeri serta karyawan yang banyak. Tapi hasilnya tidak sebanding dengan modal yang dikucurkan padahal cukup dapat beberapa butir intan saja maka modal pasti balik. Nyatanya selama sepuluh tahun itu tidak pernah mendapatkan hasil memuaskan akhirnya usaha negara ini ditutup dengan kesimpulan wilayahnya tidak layak tambang.
Berbeda dengan masyarakat Banjar yang mendulang disana, dari dulu sampai sekarang mereka masih bisa menemukan beberapa intan dalam setahun cukup untuk membeli rumah dan tanah bahkan beberapa kali pergi haji. Memang kenyataan yang mengherankan tetapi nyata terjadi, bagi orang pendulangan mencari intan penuh dengan adab-adab yang harus mereka patuhi agar tidak terkena pamali yang mengakibatkan intan lari ke dalam perut bumi. Berikut beberapa aturan pokok yang harus ditaati saat mencari intan di tanah Banjar:
- DILARANG, bakacak pinggang (bertolak pinggang), mahambin tangan (jari-jari tangan direkatkan lalu diletakkan di leher seperti bantal), bersiul, dan perbuatan tak senonoh lainnya. Hal ini akan dianggap bentuk kesombongan dan tinggi hati terhadap intan yang akan dijemput.
- DILARANG, mengucapkan kata-kata kotor dan ada istilah-istilah tertentu yang harus diganti, misalnya saat menemukan ular di dalam lubang pendulangan maka penyebutannya diganti ‘akar’, kalau bertemu babi hutan maka diganti ‘du-ur’. Saat memasuki lubang pendulangan tidak boleh menyebut kata ‘turun’ meskipun kenyataannya gerakan tersebut turun tetapi harus disebut ‘naik/menaiki’. Ini berhubungan dengan kepercayaan bahwa intan memiliki kekuatan untuk menghindari buruan, istilah ‘naik’ dipakai agar intan mau naik ke permukaan bila intan mendengar kata ‘turun’ maka intan akan kembali masuk Bumi. Kemudian tidak boleh juga menyebutkan kata ‘jauhkan’ tapi diganti dengan kata parakakan yang berarti tolong dekatkan. Untuk kata ‘makan’ diganti dengan ‘batirak’ atau ‘bamuat’ sebab kata ‘makan’ mengandung pengertian yang sadis seperti binatang memakan binatang lainnya. Hal ini semua dilakukan sebab intan akan menjauhi orang yang berkata tidak sopan.
- SAMA SEKALI TIDAK BOLEH menyebut intan dengan sebutan ‘intan’ tetapi HARUS diganti ‘GALUH’ (panggilan kesayangan untuk anak perempuan Banjar). Ini berdasarkan kepercayaan bahwa intan adalah benda yang memiliki kekuatan dan bernyawa sehingga harus mendapat panggilan yang terhormat dan mesra setara dengan sebutan anak kesayangan atau puteri raja. Seringkali ada pendulang yang tidak sengaja menyebut ‘intan’ saat mendapatkan tiba-tiba intan tersebut menghilang atau berganti menjadi batu lain.
- TIDAK BOLEH wanita yang sedang haid mendekat di lokasi pendulangan sebab si Galuh sangat membenci orang yang dianggap ‘kotor’ dan selama masih ada wanita yang haid Galuh tidak mau datang.
Selain itu ada istilah yang tidak boleh diucapkan yaitu ‘padi/beras/banih’ harus diganti dengan kata ‘biji’, hal ini akibat SUMPAH yang diucapkan intan kepada manusia akibat sakit hatinya intan terhadap perlakuan manusia kepadanya. Konon sumpah ini yang menyebabkan intan di tanah Banjar begitu sulit dicari sampai ke dalam perut Bumi.
Demikian hal tabu yang harus dihindari bagi orang yang ingin mengadu nasib mencari si Galuh di tanah Sultan, tanahnya urang Banjar.
Sabtu, 23 November 2013
ASAL MULA KAMPUNG ULIN
Dahulu,
disebuah kampung ada sebuah pohon ulin yang sangat besar. Di pohon ini
hidup seekor burung garuda yang sering memakan ternak-ternak milik
penduduk yang berdiam di sana. Lama-kelamaan, ternak milik penduduk
mulai habis, maka akhirnya burung garuda itu menjadikan anak bayi yang
masih di dalam ayunan sebagai santapan makanya. Hal ini tentu saja
sangat meresahkan para penduduk yang ada
di sana. Para pendudukpun mulai berkumpul dan memikirkan bersama-sama
bagaimana caranya agar mereka bisa menyingkirkan burung garuda tersebut
yang semakin menjadi-jadi. Ahirnya para pendudukpun bersepakat untuk
bersama-sama menebang pohon ulin tersebut agar burung garuda itu tidak
lagi bersarang di sana.
Para penduduk berupaya keras agar bisa menumbangkan pohon ulin yang disarangi oleh burung garuda tersebut. Berbagai macam peralatan dan carapun mereka dilakukan, tetapi tidak satupun peralatan penduduk yang mampu menebangnya, bahkan kulit kayunya saja tidak tergores sedikitpun. Merekapun mulai berputus asa karena mereka tidak bisa menebang pohon ulin itu. Sampai pada akhirnya ada seorang tetuha kampung di sana yang berinisiatif untuk mencoba merobohkan pohon tersebut dengan hanya menggunakan sebilah pisau. Diapun mulai mengorek-ngorek secara perlahan akar pohon ulin tersebut. Ajaibnya, apa yang dilakukan oleh tetuha adat untuk menumbangkan pohon ulin raksasa itu mulai membuahkan hasil. Melihat hal tersebut, para penduduk yang lain juga mengikuti apa yang dilakukan oleh tetuha kampung itu. Dan hal yang tidak pernah disangka para penduduk sebelumnya itu ternyata terjadi. Pohon ulin raksasa yang sangat kuat dan kokoh itupun bisa dirobohkan bersama dengan burung garuda yang bersarang di atasnya hanya dengan menggunakan sebuah pisau kecil.
Akhirnya para penduduk kampung itupun bisa hidup kembali tenang, setelah teror yang selama ini selalu nenghantui mereka dari burung garuda yang memakan anak-anak mereka yang masih dalam ayunan sudah tidak ada lagi.
Tempat di mana dulu tumbuh pohon ulin tersebutpun menjadi ramai dan akhirnya terbentuk pasar yang disebut Pasar Ulin, yang pada akhirnya daerah tersebut diberi nama Ulin. Sedangkan bekas tumbuh pohon ulin tadi dibuat sebuah balai yang diberi nama balai Amas. Di mana balai ini dijadikan para warga untuk berbagai macam aruh atau selamatan untuk upacara adat.
Adapun letak kampung Ulin ini berada di Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Sedikit tambahan. Konon menurut cerita, karena saking tingginya pohon ulin raksasa itu, pucuk dari pohon ini roboh sampai ke daerah Marabahan, padahal jarak dari kampung tersebut (di daerah Kandangan) sangat jauh dengan daerah Marabahan. Oleh karena, itu daerah tersebut diberi nama Marabahan yang berarti tempat “rabah” atau jatuhnya pohon ulin tersebut.
Para penduduk berupaya keras agar bisa menumbangkan pohon ulin yang disarangi oleh burung garuda tersebut. Berbagai macam peralatan dan carapun mereka dilakukan, tetapi tidak satupun peralatan penduduk yang mampu menebangnya, bahkan kulit kayunya saja tidak tergores sedikitpun. Merekapun mulai berputus asa karena mereka tidak bisa menebang pohon ulin itu. Sampai pada akhirnya ada seorang tetuha kampung di sana yang berinisiatif untuk mencoba merobohkan pohon tersebut dengan hanya menggunakan sebilah pisau. Diapun mulai mengorek-ngorek secara perlahan akar pohon ulin tersebut. Ajaibnya, apa yang dilakukan oleh tetuha adat untuk menumbangkan pohon ulin raksasa itu mulai membuahkan hasil. Melihat hal tersebut, para penduduk yang lain juga mengikuti apa yang dilakukan oleh tetuha kampung itu. Dan hal yang tidak pernah disangka para penduduk sebelumnya itu ternyata terjadi. Pohon ulin raksasa yang sangat kuat dan kokoh itupun bisa dirobohkan bersama dengan burung garuda yang bersarang di atasnya hanya dengan menggunakan sebuah pisau kecil.
Akhirnya para penduduk kampung itupun bisa hidup kembali tenang, setelah teror yang selama ini selalu nenghantui mereka dari burung garuda yang memakan anak-anak mereka yang masih dalam ayunan sudah tidak ada lagi.
Tempat di mana dulu tumbuh pohon ulin tersebutpun menjadi ramai dan akhirnya terbentuk pasar yang disebut Pasar Ulin, yang pada akhirnya daerah tersebut diberi nama Ulin. Sedangkan bekas tumbuh pohon ulin tadi dibuat sebuah balai yang diberi nama balai Amas. Di mana balai ini dijadikan para warga untuk berbagai macam aruh atau selamatan untuk upacara adat.
Adapun letak kampung Ulin ini berada di Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Sedikit tambahan. Konon menurut cerita, karena saking tingginya pohon ulin raksasa itu, pucuk dari pohon ini roboh sampai ke daerah Marabahan, padahal jarak dari kampung tersebut (di daerah Kandangan) sangat jauh dengan daerah Marabahan. Oleh karena, itu daerah tersebut diberi nama Marabahan yang berarti tempat “rabah” atau jatuhnya pohon ulin tersebut.
BATU BERANAK
Dahulu
kala, disebuah pohon Ulin yang sangat besar ini hidup seekor burung
Garuda yang setiap waktu kerjaannya memakan anak bayi yang masih di
dalam ayunan. Karena semakin lama semakin meresahkan, para penduduk
kampung bersepakat untuk memikirkan cara
bagaimana menyingkirkan burungGaruda tersebut. Pohon Ulin itu mempunyai
diameter kira-kira samabesarnya dengan rumah tipe 36. (Gambar bangunan
di atas mencerminkan besarnya ukuran pohon kayu ulin tersebut.)
Berbagai macam peralatan dicobakan untuk menebang pohon ulin tersebut tetapi tidak satupun yang mampu menggores batang kayunya. Akhirnya ada seorang tetuha kampung setempat mencoba menumbangkan pohon tersebut dengan sebilah pisau. Dikorek perlahan-lahan akar pohon ulin tersebut dengan hanya menggunakan sebilah pisau kecil tidak disangka-sangka pohon Ulin raksasa inipun roboh bersama burung Garuda di atasnya. Konon, saking tinggi dan besarnya pohon Ulin ini pucuknya sampai roboh ke daerah Marabahan, Barito Kuala (± 50 km dari Banjarmasin, ± 200 km dari Kandangan), sehingga nama daerah itu disebut Marabahan yang berarti tempat rabah (roboh) pohon Ulin tadi.
Setelah keadaan aman,bekas tumbuh pohon Ulin tadi dibuat sebuah balai (ada gambarnya). Dibalai inilah sejak dulu diadakan berbagai macam selamatan dan acara adat setiap tahunnya. Menurut informasi pada malam ahad ini tanggal 20 Oktober 2007 akan diadakan upacara Manaradak di balai tersebut, sebagai tanda awal menanam padi.
Di kampung ini juga ada dua buah tempat yang diyakini penduduk memiliki kesaktian, yaitu Batu Beranak.Tempat batu beranak ini asalnya tidak ada apa-apa, tiba-tiba bermunculan batu-batu memenuhi tempat tersebut sehingga oleh penduduksetempat diberi gelar Batu Beranak. Konon, ukuran batu yang ada disini bisa tumbuh berkembang sampai akhirnya melahirkan batu kecil disekelilingnya, begitu seterusnya seperti siklus hidup manusia.
Pernah ada yang iseng-iseng mencoba mengukur batu tersebut, setiap hari Jumat batu yang sama diukur dan menurut keterangan para saksi batu yang diukur tersebut memang terus bertambah ukurannya. Pernah juga ada orang yang mengambil untuk dibawa pulang ternyata beberapa hari kemudian batunya hilang setelah diperiksa batu yang sama kembali ke tempatnya semula.
Demikian sekilas oleh-oleh cerita dari kampung dan memperkenalkan tempat yang diyakini masyarakat setempat sebagai tempat berkeramat sebagai bagian dari kekayaan budaya Banjar.
Bagi yang penasaran, silakan untuk mengunjungi dua tempat tersebut. Pisau yang digunakan untuk merobohkan pohon Ulin tadi masih disimpan secara turun temurun oleh penduduk kampung, bila berkunjung ke sana bisa mencari informasi lebih lanjut. Untuk sementara diberi photonya dulu.
Berbagai macam peralatan dicobakan untuk menebang pohon ulin tersebut tetapi tidak satupun yang mampu menggores batang kayunya. Akhirnya ada seorang tetuha kampung setempat mencoba menumbangkan pohon tersebut dengan sebilah pisau. Dikorek perlahan-lahan akar pohon ulin tersebut dengan hanya menggunakan sebilah pisau kecil tidak disangka-sangka pohon Ulin raksasa inipun roboh bersama burung Garuda di atasnya. Konon, saking tinggi dan besarnya pohon Ulin ini pucuknya sampai roboh ke daerah Marabahan, Barito Kuala (± 50 km dari Banjarmasin, ± 200 km dari Kandangan), sehingga nama daerah itu disebut Marabahan yang berarti tempat rabah (roboh) pohon Ulin tadi.
Setelah keadaan aman,bekas tumbuh pohon Ulin tadi dibuat sebuah balai (ada gambarnya). Dibalai inilah sejak dulu diadakan berbagai macam selamatan dan acara adat setiap tahunnya. Menurut informasi pada malam ahad ini tanggal 20 Oktober 2007 akan diadakan upacara Manaradak di balai tersebut, sebagai tanda awal menanam padi.
Di kampung ini juga ada dua buah tempat yang diyakini penduduk memiliki kesaktian, yaitu Batu Beranak.Tempat batu beranak ini asalnya tidak ada apa-apa, tiba-tiba bermunculan batu-batu memenuhi tempat tersebut sehingga oleh penduduksetempat diberi gelar Batu Beranak. Konon, ukuran batu yang ada disini bisa tumbuh berkembang sampai akhirnya melahirkan batu kecil disekelilingnya, begitu seterusnya seperti siklus hidup manusia.
Pernah ada yang iseng-iseng mencoba mengukur batu tersebut, setiap hari Jumat batu yang sama diukur dan menurut keterangan para saksi batu yang diukur tersebut memang terus bertambah ukurannya. Pernah juga ada orang yang mengambil untuk dibawa pulang ternyata beberapa hari kemudian batunya hilang setelah diperiksa batu yang sama kembali ke tempatnya semula.
Demikian sekilas oleh-oleh cerita dari kampung dan memperkenalkan tempat yang diyakini masyarakat setempat sebagai tempat berkeramat sebagai bagian dari kekayaan budaya Banjar.
Bagi yang penasaran, silakan untuk mengunjungi dua tempat tersebut. Pisau yang digunakan untuk merobohkan pohon Ulin tadi masih disimpan secara turun temurun oleh penduduk kampung, bila berkunjung ke sana bisa mencari informasi lebih lanjut. Untuk sementara diberi photonya dulu.
Langganan:
Postingan (Atom)