Rabu, 21 Mei 2014

Meniti Bambu Menjemput Manisnya Kehidupan

Penyadap Gula  Aren, Paring Agung  Kecamatan Sungai Raya Kab. Hulu Sungai Selatan-Kandangan
Menuang gula aren ke dalam cetakan yang terbuat dari kayu
Kaki kekarnya dengan kuat menginjak tali dari tangkai buah aren yang dililitkan pada sebatang bambu. Hanya dalam hitungan detik ia sudah berada jauh di atas sepuluh meter sambil membawa jerekin kosong dan sebilah pisau tajam. 
Memanjat pohon aren perlu keahlian tersendiri

Tangannya cekatan membuka bungkus plastik yang melingkar di atas sebuah langan (tandan) buah pohon aren yang kemudian diirisnya pelan-pelan. Profesi inilah yang dilakoni Darsih (39) sejak ia masih duduk dibangku kelas 5 sekolah dasar.
Sudah puluhan pohon aren ia taklukkan dengan kecekatan kaki dan tangannya. Usaha menaruhkan nyawa ini banyak dilakoni oleh warganya, mulai dari pemuda sampai orang dewasa.  
Pohon aren atau pohon hanau memang banyak tumbuh di Desa Paring Agung Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Tumbuhnya pun liar tanpa perawatan khusus.
Air nira aren atau lahang selain dibikin gula merah atau gula aren juga bisa dijadikan sebagai minuman pelepas dahaga sekaligus mengembalikan kondisi tubuh  kita.
Nira aren atau lahang yang menyegarkan
Pohon yang masih saudara dengan palam ini biasa disadap setelah berusia sekitar 10 tahun dan sudah mulai berbunga. Dalam satu pohon, aren mempunyai dua macam tandan bunga, bunga yang biasa menjadi buah dan kerap dibikin kolang kaling, atau bunga yang hanya berbunga dan setelahnya rontok. Nah yang kedua inilah yang biasanya dimanfaatkan untuk disadap. Menyadapnya pun tidak sembarangan, penuh keterampilan ketelitian dan kesabaran.
Tandan bunga yang sudah mulai keluar kuncupnya diperlukan waktu sekitar 2 bulan untuk bisa digual  (dipukul-pukul dengan kayu). Setelah sekitar 7 hari sampai 10 hari sekali digual, maka dalam jangka satu bulan sudah bisa diambillahangnya (nira aren) yaitu dengan memotong tandan bunganya tersebut. Air nira aren ditampung dalam sebuah bumbung bambu sekitar 1 sampai 2 meter yang disebut tukil, belakangan tukil digantikan dengan jeriken berkapasitas 5 sampai 10 liter dengan melilitkan plastik yang mengarahkan ke lubang jeriken tersebut.
Menyadap aren dilakukan pada pagi dan sore hari. Dalam sehari Darsih bisa memanjat 25 pohon aren dengan menurunkan dan menaikkan sekitar 30 jeriken atau sekitar 3 kawah besar. Belum lagi pohon yang sengaja ia percayakan pengelolaannya kepada orang dengan bagian setiap dua hari per jeriken. 
Menggunakan sepeda pancal inilah ia membawa jeriken-jeriken nira aren itu
Satu tandan bunga aren bisa produktif sampai 6 bulan bahkan satu tahun. Air niranya akan keluar banyak dimusim penghujan, sebaliknya dimusim kemarau penghasilan nira akan lebih sedkit. Namun menurutnya, dimusim kemarau justru kualitas gula merah atau gula arennya lebih bagus.
Agar nira aren tidak mudah jadi cuka atau terasa asam maka sebelumnya setiap jeriken-jeriken tersebut dikasih larutan dari kayu pohon nangka yang disebut dengan laru. Dalam sehari ia bisa menghasilkan 15 sampai 25 kg gula merah dengan harga Rp. 11.000 per kg.
Sebanding dengan jerih payahnya, kini Darsih telah memiliki sebuah rumah yang patut dibanggakan dan bisa membiayai hidup anak dan istrinya.
“Yang penting rezeki itu kita syukuri dengan tetap menjalankan perintahNya” ujarnya bercerita. Alhamdulillah, walau kesibukan saya memasak air aren menjadi gula sampai tengah malam, tapi saya tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu, hidup ini ada akhirnya, kita pasti akan mati” lanjutnya.
Usaha yang dibarengi dengan kedekatan kepada Sang Khaliq akan membawa hidup ini kepada kedamaian ketenteraman dan selalu akan terasa lebih manis dari gula aren. Semoga bermanfaat.
Perlu kehati-hatian saat mencungkil gula merah yang sudah mengering
sumber :: http://www.tagayanhijau.com/2012/05/meniti-bambu-menjemput-manisnya.html

Manisnya Tapai Lakatan Kandangan


Lebaran sudah usai, yang biasanya mudik ke kampung halaman sudah kembali lagi ke habitat sehari-harinya, bekerja atau kuliah di perkotaan. Mudik saat lebaran memang mengasyikkan, selain bisa kumpul dengan keluarga dan saling bersilaturrahmi, mudik ke kampung halaman juga punya kesan tersendiri.Saat mudik kita bisa menikmati suasana kampung yang masih asri,sejuk dan rindang, membuat hati, jiwa dan raga menjadi terasa nyaman. Suguhan kuliner tradisional yang menggugah selera juga menambah dan menghidupkan suasana kampung tempoe doeloe.
Salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kandangan, punya kuliner tersendiri ketika menyambut lebaran. Selain kuliner andalan Katupat Kandangan, hari raya atau lebaran biasanya masyarakat setempat menyambutnya dengan membuat panganan apam, berbeda denganapam Barabai, apam yang biasanya disuguhkan masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah apam yang sengaja dibikin ganal, berdiameter mencapai 30 cm dan sedikit tebal, dengan tambahan gula habang membuat apam ini semakin terasa lamak manis.
Selain apamtapai lakatan pun juga mewarnai indahnya silaturrahmi warga Antaluddin tersebut. Rasanya yang manis walau dalam pembuatannya tidak menggunakan gula, sempat menaruh curiga penjajah pada saat itu, bahwa masyarakat Hulu Sungai Selatan bisa mendapatkan gula, karena saat itu gula dikuasai oleh penjajah dan sangat sulit untuk didapatkan.
Tapai lakatan atau yang dikenal dalam bahasa Indonesia dengan sebutan tape ketan memang banyak dijumpai dibeberapa daerah di Kalimantan Selatan atau bahkan di wilayah Indonesia bagian lain. Kali ini TAGAYAN HIJAU mencoba berbagi resep cara membuat tapai lakatan khas Hulu Sungai Selatan. Langkah pertama, tentunya kita siapkan dulu bahan-bahannya:
  1. Beras Ketan (sesuai selera)
  2. Bubuk Ragi (disesuaikan)
  3. Bubuk Daun Katuk (disesuaikan)
  4. Daun Pisang (secukupnya)
  5. Lidi (secukupnya)
Langkah kedua, kita mulai untuk mengolahnya. Beras ketan dibasuh bersih, kemudian direndam selama 30 menit, tiriskan. Beras ketan yang sudah kering kemudian diaduk dalam wadah bersama dengan bubuk daun katuk sampai rata. Beras ketan yang sudah bertabur bubuk daun katuk tersebut kita kukus sampai setengah matang. Setelah dibangkit, hamparkan di atas tikar sambil diangin-anginkan sampai setengah dingin. Kemudian bubuhkan bubuk ragi di atasnya dengan menggunakan ayakan agar merata di atasnya sambil diaduk pelan.
Sebelum kita mengepal bahan tapai tersebut, terlebih dahulu kita sediakan air hangat mencampur ragi. Air ragi tersebut berguna sebagai pelicin ketika mengepal agar tidak melengket di tangan. Kini sampailah pada tahap pengemasan, tapai yang sudah dikepal tersebut ditaruh di daun pisang selebar kurang lebih 15 cm, kemudian kedua ujungnya di lipat sehingga ketemu ditengah-tengah, sebagai penahan dari lipatan tersebut taruhlah daun pisang selebar 10 cm di bawahnya, lalu kuatkan dengan menusukkan lidi di pertengahan daun tadi.
Bungkusan-bungkusan ini mesti diperam dulu sekitar 3 hari untuk mendapatkan rasa yang manis, kebiasaan masyarakat memeramnya di dalam sebuah bakul yang terbuat dari rotan atau bamban. Pemeran kembali menggunakan daun pisang yang ditaruh sedemikian rupa di bakul tersebut agar memperoleh kelembaban sehingga mempercepat proses pemeraman. Dengan demikian selesailah proses pembuatan tapai lakatan Khas Hulu Sungai Selatan Kandangan. Anda penasaran, silakan coba dan buktikan rasanya.


sumber :: http://www.tagayanhijau.com/2011/09/manisnya-tapai-lakatan-kandangan.html

Kandangan Cing-ai...!!


Kandangan Cing-ai….!! *


Apalah artinya sebuah nama,
Sekuntum mawar diberi nama apapun akan tetap mengeluarkan keharuman



Kalimat sastrawan Inggris itu, William Shakespeare, tidaklah salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Dalam konstalasi kehidupan, nama, tenyata turut merumuskan sesuatu yang amat intim dengan keberadaan: identitas pembeda antara yang satu dengan yang lain, termasuk dalam soal wilayah atau komunitas tertentu.


Dengan mengucapkan sebuah identitas kewilayahan, seseorang pada dasarnya telah memilih satu pola untuk bereaksi atau bersikap dalam suatu situasi, termasuk dalam hal merasa tersinggung atau bangga, dalam hal kesediaan untuk mati atau menahan diri.
Pernyataan yang berbunyi “Kandangan Cing-ai!” merupakan contoh ihwal semacam itu. Kalimat pendek tersebut sudah demikian populer, utamanya di kawasan Kalimantan Selatan. Turun temurun dari waktu ke waktu, dari satu generasi ke generasi yang lain. Di dalamnya, kendati kadang terkesan bernada arogan, tersirat suatu kebanggaan terhadap banua, kebanggaan terhadap satu komunitas , yang mempunyai ciri dan karakter tersendiri.
Kalangan budayawan dan sosiolog beranggapan bahwa karakter urang Kandangan itu keras tatapi menyimpan kelembutan, lamun dibaiki salipi di kantung gin dijulungi, tapi lamun dijahati Saumur janang kaingatan. Karakter yang lain adalah teguh dalam memegang prinsip, melatakkan harga diri di tempat yang tinggi, punya solidaritas yang kental, berani dan jarang bapisah lawan gagaman.
Lalu darimanakah asal muasalnya sehingga wilayah yang dibelah oleh Batang Hamandit kemudian ditasmiahi dengan nama Kandangan?
Pertanyaan itu akan membuat orang menengok jauh ke masa lalu. Ketika catatan sejarah tak mampu menjawab maka tolehan ke abad-abad silam akan bermuara pada mitologi, legenda, atau cerita rakyat.
Sahibul hikayat yang selama ini terlanjur populer menyebutkan bahwa Kandangan berasal dari kata Kandang Hadangan (Kerbau), konon, kawasan Batang Hamandit ini,baik yang berupa rawa maupun tanah datar dan tinggi, merupakan tempat pemeliharaan dan penggembalaan hadangan. Beratus-ratus hadangan dipelihara didalam kandang-kandang yang tersebar diberbagai tempat. Tenarlah kawasan itu sebagai Kandang Hadangan lama-lama pengucapannya aus menjadi Kandangan.
 Perubahan kata Kandang Hadangan menjadi Kandangan oleh sebagai masyarakat dianggap terlalu mengada-ada. Terlalu banyak huruf yang hilang, jauh berbeda dengan kata Baraba-ai yang menjadi Barabai, atau kata Muara Bahan yang menjadi Marabahan. Apalagi karakteristik pemelihara hadangan dinilai jauh berbeda dengan karakteristik urang Kandangan.
 Versi lain memunculkan kaitan erat dengan kultur agamis yang dipunyai masyarakat Kandangan. Konon, disuatu waktu di tahun 1800-an, di daerah Karang Jawa diadakan Musyawarah para Datu. Hampir seluruh datu Banua Banjar berhadir, termasuk Datu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Datu Aling, Datu Sanggul. Ketika Syekh Muhammad Arsyad ditanya orang mau ke mana, beliau menjawab: mau kondangan (diucapakan dengan dialek Banjar Kuala yang kental). Kata kondangan itu terdengar seperti kata Kandangan, sehingga orang kemudian menyebut tempat yang dituju Syekh Muhammad Arsyad itu sebagai Kandangan.
 Versi lain lagi meyebutkan bahwa asal nama Kandangan berhubungan dengan ketidaksukaan satu komunitas di kawasan Batang Hamandit terhadap Lambung Mangkurat dari Negara Dipa.
 Bagi mereka, Lambung Mangkurat punya track-record buruk. Lambung Mangkurat dianggap membodohi rakyat dengan mengatakan Putri Junjung Buih sebagai wanita hasil tapa, padahal wanita itu orang hulu Balangan yang bernama Galuh Cipta Sari; menjadikan Junjung Buih sebagai Ratu Boneka di Negara Dipa; membunuh dua kemenakan, Bambang Sukmaraga dan Bambang Patmaraga; menjadi penyebab bunuh dirinya Empu Mandastana dan sang istri, kakak dan iparnya sendiri; menjadikan Raden Putra si orang Majapahit sebagai suami Junjung Buih sekaligus menobatkannya menjadi Raja Negara Dipa. Lambung Mangkurat kemudian juga membunuh Diang DipaRaja, istrinya sendiri; juga menjadi penyebab bunuh dirinya Arya Malingkan dan istri, kedua mertuanya.
 Ulah Lambung Mangkurat itu akhirnya membuat komunitas Batang Hamandit memaklumkan perlawanan. Mereka mendirikan benteng berupa kandang yang memagari keliling wilayahnya. Kendati berkali-kali diserang, orang-orang dalam benteng itu tak jua berhasil ditaklukkan. Lambung Mangkurat akhirnya membiarkan keberadaan wilayah dan komunitas tersebut sepanjang tidak mengganggu Negara Dipa dan kekuasaannya.
Orang-orang kemudian menyebut komunitas dalam benteng itu sebagai Urang Kandangan, artinya orang yang berdiam atau berada di dalam kandang.


 Kendati diperlukan penelusuran lebih jauh, mitologi urang dalam kandang itu terlihat lebih pas dengan karakter urang Kandangan.
 Tapi apa sih? Perlunya memunculkan lagi mitologi yang telah terkubur daun-daun waktu ke milineum ketiga ini? Apakah ingin membangun oposisi etnik di tengah nganga jurang disentegrasi bangsa sekarang ini? Sama sekali tidak. Refleksi mitologi itu sekedar menolehi modal dasar yang dipunya oleh urang Kandangan dalam merenda masa depan.
Mitologi itu menunjukkan juriat, juriat urang Kandangan. Dan persoalan juriat adalah persoalan akar yang terhunjam dalam: akar budaya yang membentuk eksestensi seseorang atau sekelompok orang yang menyebut diri sebagai urang Kandangan.
 Dari akar budaya tersebut lahir beragam ujaran datu nini yang kemudian menjadi patok nilai-nilai tradisi urang Kandangan. Misalnya, kita bakulawarga kada wayah katam haja; pacah  sabuku pacah sakataraan; lamun bakawinan kada sarana disaru aku tapi lamun bakalahian habari-ha; menunjukkan kentalnya citra kebersamaan. Kebersamaan tidak cuma muncul pada saat-saat basuka-barami (dilambangkan dengan wayah katam atau bakakawinan), tetapi juga pada saat-saat susah, bahkan pada saat panyawaan menjadi resikonya (dilambangkan dengan pacah sakataraan atau bakalahian). Modal kebersamaan semacam itu merupakan harta waris yang seyogyanya dijaga barataan, terlebih dalam mencermati dan menyikapi era otonomi daerah ini. Tanpa kebersamaan maka kayuhan perahu otonomi daerah di tengah laut berbadai, seperti sekarang ini, rasanya sukar, atau bahkan mustahil dilakukan.
Tapi citra kebersamaan tidaklah sesempit pengertian unggut-unggut tarus nang kaya bilatuk manabuk sarang. Kebersamaan tidaklah menafikan kritik. Kebersamaan tidaklah meminggirkan pendapat orang lain atau merasa ampun saurang haja nang pambujurnya, apalagi rasnang nang kaya mandur Ulanda. Kebersamaan adalah juga keterbukaan dalam memberi dan menerima. Ketulusan tagur-managur atawa ingat-maingati lamun kauyuhan jukung ampah manumbuk ambul.
 Maka dengan modal kebersamaan, parigal otonomi daerah bukanlah hal yang perlu ditakutkan.
 Kandangan Cing-ai! Banua kami nang rakat mupakat matan datu-nini!


*Dikutip dari tulisan Burhanuddin Soebely dalam sebuah buletin di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan

Menengok Pembuatan Lamang Kandangan

"Tiga Jam di Bara Api, Gurih dan Lamak Manis"

Sambil menyeka peluhnya, Julak (55) bangkit dari duduknya menghampiri tumpukan kayu yang tidak jauh dari bangku kayu ulin itu untuk menghidupkan kembali api yang sudah mulai meredup. Tidak kurang dari 3 jam setiap harinya, ia harus berada di sekitar tumpukan bara api itu, sambil menjaga
Julak membolak-balik bumbung lamang agar masak sempurna
api agar terus membara menghidupi penghidupannya beserta anggota keluarga lainnya. Pekerjaan ini sudah dilakoninya sejak ia masih muda, sekitar 30 tahunan silam.
Waktu yang tidak sebentar itu turut menempanya menjadi pembuat lemang (lamang:Banjar) handal. Ia mengerti betul bagaimana lemangnya harus terasa lemak manis bagi setiap orang yang mencicipinya.
Memasukkan beras ketan ke dalam bumbung
Julak adalah salah satu dari sekian banyak pembuat lamang di Hulu Sungai Selatan. Kabupaten yang beribu kota Kandangan ini tidak hanya terkenal dengan katupat dan dodolnya, tapi juga dengan lamangnya. Tidak mengherankan setiap ada penjualan lamang baik itu dini hari, siang, atau sore hari selalu diserbu pembeli. Lamang Kandangan juga kerap dijadikan oleh-oleh bagi orang yang berkunjung ke Kandangan.
Memasukkan santan ke dalam bumbung yang terlebih dahulu sudah ada ketannya
Bagi Julak, lamang adalah penopang hidupnya. Beserta isterinya ia memasak lamang untuk dijual di pasar Kandangan pada dini hari setiap harinya. Satu bumbungnya Julak biasanya menjualnya dengan harga berkisar antara 25-30 ribu  rupiah sampai 70 ribu rupiah per bumbung. Aktifitasnya dimulai pagi hari. Menyiapkan beras ketan sebanyak 4 blek dan harus direndam dulu selama 2 jam sebelum dicuci bersih.  “Berasnya harus dicuci bersih, bila tidak, maka lamangnya akan cepat basi,” terangnya. Setelah itu ia mesti menyiapkan lagi santan dari 20 biji kelapa untuk nantinya dicampur dengan beras ketan agar lamang terasa lamak manis.
Lamang biasanya dimasak dalam sebuah batang bambu dari jenis buluh. Bambu buluh yang kemudian disebut bumbung itu mempunyai tekstur kulit yang tipis dengan buku-buku yang panjang, bahkan mencapai 1 meter lebih antara buku yang satu dan buku yang lainnya. Untuk memperoleh buluh yang bagus biasaya Julak mendapatkannya dari langganannya sendiri yang mengantar ke rumahnya.
Beserta sang isteri dengan cekatan Julak memasukkan daun pisang muda sesuai dengan lebar mulut bumbung buluh tersebut. Satu persatu dimasukkannya sampai kemudian tiba saatnya memasukkan beras ketan ke dalam bumbung itu. setelah semuanya terisi maka selanjutnya dimasukkan santan kelapa dan akhirnya dimasak dengan posisi tegak saling berhadapan mengelilingi api.
Lamang menunggu matang
Memasak inilah yang membutuhkan waktu lama, ketelatenan dan kesabaran untuk menghasilkan lamang yang masak seutuhnya. Selain menjaga api agar tetap stabil, membolak-balikkan dan memiringkan bumbung juga harus jadi perhatian ketika memasak.
Panganan lamang biasa dinikmati beserta dengan telur asin, sambal sate atau bisa juga dengan kacang sayur yang sudah dimasak beserta bumbu-bumbu lainnya.
Penjual lamang di pasar Kandangan
Rasa gurih dan khas lamang Kandangan inilah yang kemudian menggugah pemerintah setempat untuk mencatatkan panganan khasnya sebagai lamang terpanjang di Musem Rekor Indonosia (MURI) pada hari jadinya Desember lima tahun silam.

sumber :: http://www.tagayanhijau.com/2011/10/menengok-pembuatan-lamang-kandangan.html