Penyadap Gula Aren, Paring Agung Kecamatan Sungai Raya Kab. Hulu Sungai Selatan-Kandangan
Menuang gula aren ke dalam cetakan yang terbuat dari kayu |
Kaki kekarnya dengan kuat menginjak tali dari tangkai buah aren yang dililitkan pada sebatang bambu. Hanya dalam hitungan detik ia sudah berada jauh di atas sepuluh meter sambil membawa jerekin kosong dan sebilah pisau tajam.
Tangannya cekatan membuka bungkus plastik yang melingkar di atas sebuah langan (tandan) buah pohon aren yang kemudian diirisnya pelan-pelan. Profesi inilah yang dilakoni Darsih (39) sejak ia masih duduk dibangku kelas 5 sekolah dasar.
Sudah puluhan pohon aren ia taklukkan dengan kecekatan kaki dan tangannya. Usaha menaruhkan nyawa ini banyak dilakoni oleh warganya, mulai dari pemuda sampai orang dewasa. Memanjat pohon aren perlu keahlian tersendiri |
Tangannya cekatan membuka bungkus plastik yang melingkar di atas sebuah langan (tandan) buah pohon aren yang kemudian diirisnya pelan-pelan. Profesi inilah yang dilakoni Darsih (39) sejak ia masih duduk dibangku kelas 5 sekolah dasar.
Pohon aren atau pohon hanau memang banyak tumbuh di Desa Paring Agung Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Tumbuhnya pun liar tanpa perawatan khusus.
Air nira aren atau lahang selain dibikin gula merah atau gula aren juga bisa dijadikan sebagai minuman pelepas dahaga sekaligus mengembalikan kondisi tubuh kita.
Nira aren atau lahang yang menyegarkan |
Pohon yang masih saudara dengan palam ini biasa disadap setelah berusia sekitar 10 tahun dan sudah mulai berbunga. Dalam satu pohon, aren mempunyai dua macam tandan bunga, bunga yang biasa menjadi buah dan kerap dibikin kolang kaling, atau bunga yang hanya berbunga dan setelahnya rontok. Nah yang kedua inilah yang biasanya dimanfaatkan untuk disadap. Menyadapnya pun tidak sembarangan, penuh keterampilan ketelitian dan kesabaran.
Tandan bunga yang sudah mulai keluar kuncupnya diperlukan waktu sekitar 2 bulan untuk bisa digual (dipukul-pukul dengan kayu). Setelah sekitar 7 hari sampai 10 hari sekali digual, maka dalam jangka satu bulan sudah bisa diambillahangnya (nira aren) yaitu dengan memotong tandan bunganya tersebut. Air nira aren ditampung dalam sebuah bumbung bambu sekitar 1 sampai 2 meter yang disebut tukil, belakangan tukil digantikan dengan jeriken berkapasitas 5 sampai 10 liter dengan melilitkan plastik yang mengarahkan ke lubang jeriken tersebut.
Menyadap aren dilakukan pada pagi dan sore hari. Dalam sehari Darsih bisa memanjat 25 pohon aren dengan menurunkan dan menaikkan sekitar 30 jeriken atau sekitar 3 kawah besar. Belum lagi pohon yang sengaja ia percayakan pengelolaannya kepada orang dengan bagian setiap dua hari per jeriken.
Menggunakan sepeda pancal inilah ia membawa jeriken-jeriken nira aren itu |
Satu tandan bunga aren bisa produktif sampai 6 bulan bahkan satu tahun. Air niranya akan keluar banyak dimusim penghujan, sebaliknya dimusim kemarau penghasilan nira akan lebih sedkit. Namun menurutnya, dimusim kemarau justru kualitas gula merah atau gula arennya lebih bagus.
Agar nira aren tidak mudah jadi cuka atau terasa asam maka sebelumnya setiap jeriken-jeriken tersebut dikasih larutan dari kayu pohon nangka yang disebut dengan laru. Dalam sehari ia bisa menghasilkan 15 sampai 25 kg gula merah dengan harga Rp. 11.000 per kg.
Sebanding dengan jerih payahnya, kini Darsih telah memiliki sebuah rumah yang patut dibanggakan dan bisa membiayai hidup anak dan istrinya.
“Yang penting rezeki itu kita syukuri dengan tetap menjalankan perintahNya” ujarnya bercerita. Alhamdulillah, walau kesibukan saya memasak air aren menjadi gula sampai tengah malam, tapi saya tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu, hidup ini ada akhirnya, kita pasti akan mati” lanjutnya.
Usaha yang dibarengi dengan kedekatan kepada Sang Khaliq akan membawa hidup ini kepada kedamaian ketenteraman dan selalu akan terasa lebih manis dari gula aren. Semoga bermanfaat.
Perlu kehati-hatian saat mencungkil gula merah yang sudah mengering |
sumber :: http://www.tagayanhijau.com/2012/05/meniti-bambu-menjemput-manisnya.html