Istilah “Kandangan Cing-ai” sendiri agaknya sulit dilacak dari mana,
oleh siapa dan sejak kapan digunakan. Slogan ini barangkali hanya
sebagai ungkapan gagah-gagahan untuk manggaratap orang lain di masa
lalu. Kebiasaan itu diwariskan secara oral dari generasi ke generasi
dalam masyarakat urang Kandangan. Namun ungkapan tersebut belakangan
seperti tak punya “taring” lagi di kalangan masyarakat Kandangan
sendiri. Bahkan jika ada orang yang melontarkan ungkapan tersebut justru
terdengar mambari supan karena cenderung menampilkan profil urang
Kandangan yang primitif, udik dan kampungan. Mereka yang masih bangga
menyuarakan ungkapan “Kandangan Cing-ai” harus mereduksi kembali kadar
intelektualitas dan spritualitasnya. Mambari supan tahulah, Dangsanak!
Upaya
dalam kaitannya untuk menghapuskan image “seram” dan “primitif” tentang
Kandangan, lebih khusus mengenai ungkapan “Kandangan Cing-ai” itu sudah
lama dan banyak dilakukan oleh berbagai pihak dari waktu ke waktu, baik
dari kalangan pemuka agama, tokoh masyarakat, unsur pemuda, hingga oleh
pihak pemerintah daerah. Upaya tersebut juga dibuktikan dengan
tampilnya putra-putra terbaik Kandangan di tingkat daerah maupun
nasional sebagai birokrat, politikus, akademisi, agamawan, budayawan,
seniman dan olahragawan. Di Kandangan, juga teduh dengan suasana
keberagamaan dan kebersamaan, meskipun dalam beberapa hal masih dalam
ranah simbolisme dan formalisme. Di Kandangan pula, melalui observasi
pribadi dan riset tidak resmi yang penulis lakukan, gadis-gadisnya
terkenal cantik-cantik dan ranum-ranum, senantiasa menguarkan semerbak
masa muda remaja masa kini. Akayaaah…
Trauma intimidasi sebagai
daerah eks jajahan di masa lampau, menyebabkan kultur urang Kandangan
menjadi korban pembekuan selama beberapa dasawarsa di bumi Antaludin
itu. Tetapi sekarang, dengan berkembangnya budaya-budaya baru dalam
dunia pergaulan, pendidikan, ekonomi dan informasi, kita harapkan
pembekuan itu segera “mencair” ke arah yang positif. Karena kita semua
tahu, bahwa budaya kultural urang Kandangan yang berusia ratusan tahun
itu sebenarnya tak tersangkut, bahkan kontradiktif, dengan lembaran
hitam dalam sejarah kita sebagai manusia.
Dalam konteks kekinian,
sikap dan jiwa “pemberontak” urang Kandangan terhadap ekspansi kaum
penjajah di masa lalu kepada masyarakat di daerah ini mesti tetap kita
lestarikan dan budayakan. Sekarang kita mesti “angkat senjata” terhadap
segala bentuk tindak kesewenang-wenangan yang dilakukan setiap
“penjajah” yang mencoba memperkosa hak-hak rakyat dhu’afa di daerah ini,
termasuk para pemangku birokrat daerah ini yang doyan menggerogoti dan
mambantas duit rakyat dengan semena-mena. Pun bagi para politikus busuk
yang saat ini lagi obral janji demi merampas hak-hak dan menginjak-injak
harkat serta harga diri kita sebagai urang Kandangan yang punya
martabat. Kandangan Cing-ai!
Apalagi dalam suasana demokratisasi
saat ini, kita mesti memegang kukuh semangat kebersamaan sebagai warga
urang Kandangan yang bermartabat itu. Tetapi, seperti kata budayawan
Burhanuddin Seobely, citra kebersamaan tidaklah sesempit unggut-unggut
tarus nang kaya bilatuk manabuk sarang. Kebersamaan tidaklah menafikan
kritik. Kebersamaan tidaklah mengharamkan teguran. Kebersamaan tidaklah
meminggirkan pendapat orang lain atau merasa ampun saurang haja nang
pambujurnya, apalagi rasnang nang kaya mandur Ulanda. Kebersamaan adalah
juga keterbukaan dalam memberi dan menerima. Ketulusan tagur-managur
atawa ingat-maingati kayuhan jukung ampah manumbuk ambul.
“Kandangan
Cing-ai!” Mendengar kata itu memang tidak selamanya tubuh kita merasa
panas. Tetapi seperti ada yang tiba-tiba terbakar! []
Aliman Syahrani
urang Kandangan
sumber :: http://kucapa.blogspot.com/2010/06/kandangan-cing-ai.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar