Rabu, 11 Desember 2013

KANDANGAN CING AE !!!!!!!

Istilah “Kandangan Cing-ai” sendiri agaknya sulit dilacak dari mana, oleh siapa dan sejak kapan digunakan. Slogan ini barangkali hanya sebagai ungkapan gagah-gagahan untuk manggaratap orang lain di masa lalu. Kebiasaan itu diwariskan secara oral dari generasi ke generasi dalam masyarakat urang Kandangan. Namun ungkapan tersebut belakangan seperti tak punya “taring” lagi di kalangan masyarakat Kandangan sendiri. Bahkan jika ada orang yang melontarkan ungkapan tersebut justru terdengar mambari supan karena cenderung menampilkan profil urang Kandangan yang primitif, udik dan kampungan. Mereka yang masih bangga menyuarakan ungkapan “Kandangan Cing-ai” harus mereduksi kembali kadar intelektualitas dan spritualitasnya. Mambari supan tahulah, Dangsanak!

Upaya dalam kaitannya untuk menghapuskan image “seram” dan “primitif” tentang Kandangan, lebih khusus mengenai ungkapan “Kandangan Cing-ai” itu sudah lama dan banyak dilakukan oleh berbagai pihak dari waktu ke waktu, baik dari kalangan pemuka agama, tokoh masyarakat, unsur pemuda, hingga oleh pihak pemerintah daerah. Upaya tersebut juga dibuktikan dengan tampilnya putra-putra terbaik Kandangan di tingkat daerah maupun nasional sebagai birokrat, politikus, akademisi, agamawan, budayawan, seniman dan olahragawan. Di Kandangan, juga teduh dengan suasana keberagamaan dan kebersamaan, meskipun dalam beberapa hal masih dalam ranah simbolisme dan formalisme. Di Kandangan pula, melalui observasi pribadi dan riset tidak resmi yang penulis lakukan, gadis-gadisnya terkenal cantik-cantik dan ranum-ranum, senantiasa menguarkan semerbak masa muda remaja masa kini. Akayaaah…

Trauma intimidasi sebagai daerah eks jajahan di masa lampau, menyebabkan kultur urang Kandangan menjadi korban pembekuan selama beberapa dasawarsa di bumi Antaludin itu. Tetapi sekarang, dengan berkembangnya budaya-budaya baru dalam dunia pergaulan, pendidikan, ekonomi dan informasi, kita harapkan pembekuan itu segera “mencair” ke arah yang positif. Karena kita semua tahu, bahwa budaya kultural urang Kandangan yang berusia ratusan tahun itu sebenarnya tak tersangkut, bahkan kontradiktif, dengan lembaran hitam dalam sejarah kita sebagai manusia.

Dalam konteks kekinian, sikap dan jiwa “pemberontak” urang Kandangan terhadap ekspansi kaum penjajah di masa lalu kepada masyarakat di daerah ini mesti tetap kita lestarikan dan budayakan. Sekarang kita mesti “angkat senjata” terhadap segala bentuk tindak kesewenang-wenangan yang dilakukan setiap “penjajah” yang mencoba memperkosa hak-hak rakyat dhu’afa di daerah ini, termasuk para pemangku birokrat daerah ini yang doyan menggerogoti dan mambantas duit rakyat dengan semena-mena. Pun bagi para politikus busuk yang saat ini lagi obral janji demi merampas hak-hak dan menginjak-injak harkat serta harga diri kita sebagai urang Kandangan yang punya martabat. Kandangan Cing-ai!

Apalagi dalam suasana demokratisasi saat ini, kita mesti memegang kukuh semangat kebersamaan sebagai warga urang Kandangan yang bermartabat itu. Tetapi, seperti kata budayawan Burhanuddin Seobely, citra kebersamaan tidaklah sesempit unggut-unggut tarus nang kaya bilatuk manabuk sarang. Kebersamaan tidaklah menafikan kritik. Kebersamaan tidaklah mengharamkan teguran. Kebersamaan tidaklah meminggirkan pendapat orang lain atau merasa ampun saurang haja nang pambujurnya, apalagi rasnang nang kaya mandur Ulanda. Kebersamaan adalah juga keterbukaan dalam memberi dan menerima. Ketulusan tagur-managur atawa ingat-maingati kayuhan jukung ampah manumbuk ambul.

“Kandangan Cing-ai!” Mendengar kata itu memang tidak selamanya tubuh kita merasa panas. Tetapi seperti ada yang tiba-tiba terbakar! []

Aliman Syahrani
urang Kandangan

sumber ::  http://kucapa.blogspot.com/2010/06/kandangan-cing-ai.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar